Chapter 5: It's gonna start from here

49.4K 1.1K 24
                                    

Halooooooooooooo para pembaca setiaku :) <3

Maaf banget-bangetan sampe 100000000000000000000x karena aku baru ngeupload chapter 5 sekarang. itu karena aku ikut semster pendek dan begitu padet jadwalnya sehingga nggak sempet untuk nge-upload, sebenernya sih udah aku bikin dari berminggu2 yang lalu, cuma belom aku edit-edit gitu. maaf ya menunggu lama, semoga kalian suka chapter ke 5 ini. don't forget to click 'vote' button, and leave your comment, Merci beaucoup :*

ps: disini bakal dibahas tentang dinner mereka berdua loh ;)

xoxo,

kyra110393

****************************


Nintya POV: 

“Kamu pokoknya harus bersikap ramah ketika berada dihadapan Om Hendra dan istrinya, terlebih lagi sama Valdo calon suami kamu,” kata mama yang menguliahiku ketika sampai di lobby restaurant yang bergaya ala Eropa itu. “Dan satu lagi, jangan pasang wajah cemberut kamu dong. Senyum! Kan biar anak mama terlihat semakin cantik,”

Aku memutar bola mataku ketika mendengar kata-kata mama. Ya memang aku juga akan menuruti kata-katanya yang mengatakan aku harus bersikap ramah kepada Om Hendra dan isterinya, tetapi untuk bersikap ramah dengan si Valdo-Valdo itu? Oh tidak bisa! Untuk apa aku beramah-tamah dengan orang yang dari sananya tidak bisa diajak beramah-tamah. Tetapi dapat dipastikan ujung-ujungnya aku akan bersikap ramah pula dengan lelaki itu karena merasa tidak enak dengan mama dan kedua orangtuanya. Jadi daripada bersikap palsu lebih baik aku tidak melakukan apapun saat makan malam nanti, dibandingkan bersikap ramah yang unjung-ujungnya bisa saja membuat aku dan dia akan menimbulkan pertengkaran. Yang jelas pasti akan menimbukan malu.

Aku dan mama memasuki restaurant mewah ini. Kedatangan kami berdua disambut dengan ramah oleh para pelayan restaurant yang berdiri didepan lobby yang bertugas untuk menyapa dan mempersilahkan para menuju meja yang telah di booking oleh mereka (Jadi sistem di restaurant ini adalah sistem booking yang harus dibooking minimal 3 hari sebelumnya). Salah satu pelayannya (yang tampaknya berusia tidak jauh denganku) mengantarkan aku dan mama ke meja yang sudah dipesan oleh Om Hendra. Alunan musik klasik Eropa juga turut membangun nuansa ke-Eropaan dan membuatnya menjadi semakin kental. Restaurant ini sangat besar dan sangat terkenal, dan aku hanya beberapa kali datang kesini hanya karena menemani mama dalam acara kantornya. Makanan yang disajikan restaurant ini beraneka ragam tetapi memang dikhususkan untuk makanan-makanan khas Eropa khususnya Italy. Namanya juga restaurant terkenal dan mewah, yang biaya satu porsinya setara dengan makan satu minggu full di kantin sekolah, maka rasa makanannyapun juga enak. Tetapi kalau ditanya aku lebih memilih makanan kantin atau restaurant ini maka aku akan lebih memilih makanan kantin, karena jelas lebih kenyang dan lebih irit.

Pelayan tersebut berhenti disalah satu meja yang terletak dipojok kanan restaurant. Meja tersebut menghadap langsung ke kaca yang menunjukkan pemandangan kota jakarta yang dilihat dari lantai atas. Restaurant ini memang terletak disebuah hotel mewah bilangan Jakarta dan terletak dilantai paling atas hotel mewah tersebut.

“Terima kasih,” kata mama ramah setelah duduk dikursi. “Ohiya, kami akan memesan nanti karena masih menunggu ada yang belum datang,” kata mama menambahkan sebelum pelayan terebut menyerahkan daftar menu makanan. Pelayan tersebut tersenyum dan meninggalkan aku dan mama sendiri (Well nggak sendiri sih, karena restaurant ini ramai akan pengunjung).

Aku mengamati kesekeliling meja yang berada disekitarku. Para pengunjungnya kebanyakan ibu-ibu atau bapak-bapak, tetapi adapula yang terlihat seperti membawa keluarganya. Mereka terlhat tampak menikmati hidangan dan tampak begitu bahagia, sedangkan aku? Well bisa dibilang agak tersiksa mengingat untuk apa aku pergi ke restaurant ini. Pandanganku beralih keluar jendela mengamati pemandangan lampu-lampu kota Jakarta yang memang terlihat sangat indah.

“Maaf sudah menunggu Bu Anne,” kata seorang wanita paruh baya yang memakai gaun warna putih.

Aku menengok kearah sumber suara ketika mendengar suara tersebut. Disamping wanita tersebut berdiri lelaki paruhbaya yang wajahnya tampak familiar diingatanku, dan pasti lelaki itu yang bernama Om Hendra-Hendra itu. Dan dibelakang mereka berdiri seorang lelaki yang wajahnya belum terlihat karena posisiku masih dalam posisi duduk dan dia tertutup oleh ibu-bapaknya.

“Oh tidak apa-apa Bu,” Mamaku berdiri untuk mengucapkan salam kepada wanita itu. Aku mengikutinya sambil tersenyum.

“Wah Nintya sudah besar ya, cantik sekali dirimu,” decak kagum terlihat dari suara Om Hendra seperti puas karena calon menantunya secantik yang dia bayangkan. Om Hendra menengok kebelakang kearah Valdo-Valdo itu, “benarkan Valdo kalau Nintya cantik!”

Hal pertama yang aku tangkap ketika Valdo melihatku adalah kaget. Bingo! Hahaha benar tebakanku dan berarti dia masih mengingat akan kejadian dua hari yang lalu. Tetapi kagetnya Valdo masih dapat dikontrol karena hanya matanya saja yang membesar, nggak selebay aku.

“Ayo silahkan duduk,” mama mempersilahkan mereka semua untuk duduk. Mereka semua duduk di depanku dan entah mengapa Valdo diposisikan duduk berada didepanku yang berarti dia duduk ditengah-tengah antara ibu dan bapaknya.

“Nintya masih kelas satu SMA ya? Tapi udah keliatan cantiknya ya,” kata wanita itu yang sampai sekarang aku tidak mengetahui namanya. Aku yang dipuji seperti itu hanya nyengir saja, sedangkan yang empunya wanita itu (Valdo) hanya mencibir seperti tidak menyetujui apa yang dikatakan ibunya. Sebodo teing deh dia setuju atau nggak, nggak ngaruh juga buat diriku.

“Kalian udah saling kenal belum sih?” kata mama sambil memandang kearah aku dan Valdo bergantian.

“Belum,”

“Udah,”

Aku memandang Valdo sambil memicingkan mataku, bagaimana belum kenal denganku orang yang notabenya udah ngatain dan berbicara denganku! Mamaku dan orangtua Valdo ikut bingung karena jawabanku dan Valdo berbeda.

“Haha, jadi gimana sebenernya kalian sudah saling kenal atau belum?” Om Hendra memandang kami berdua bingung.

“Belum, tapi kita udah pernah ketemu,” akhirnya Valdo menjawab pertanyaan papanya. Dan sebenarnya memang keadaannya seperti. Sudah pernah bertemu dan mencari gara-gara tetapi belum berkenalan secara resmi.

Sesudah itu perbincangan didominasi oleh para orang tua yang sibuk membicarakan tentang rencana pernikahan aku dan si Valdo-Valdo itu. Aku hanya menjawab sekenanya jika ditanya, begitu pula Valdo juga hanya menjawab sekenanya. Kami berbincang sampai makanan datang dan kembali berbincang ketika makanan sudah habis. Kalau bisa aku mempercepat waktu maka aku sudah melakukannya dari tadi.

“Jadi pernikahannya akan diadakan minggu depan dirumah saya ya?” kata Wanita itu yang membuyarkan lamunanku.

Minggu depan? Berarti 7 hari lagi? Aku memandang mama memelas, tetapi dia tidak menggubrisku sama sekali. Karena merasa diacuhkan maka aku memandang kearah Valdo untuk meminta tolong membatalkan rencana pernikahan konyol itu. Tetapi berbeda dengan diriku, Valdo terlihat sangat tenang dan terlihat tidak kaget dengan rencana itu. Aku terduduk lemas menyadari akan suatu hal. Jadi sebenarnya apa cuma aku yang tidak menyetujui pernikahan konyol ini?

Marrying Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang