Oke, let me have a few words before you start to read this chapter:
1.) THANK YOU, A really big thank you for all of those who really patient to keep waiting and waiting for this update. AAAAAH ME LOVE YOU ALL!! REALLY REALLY LOVE YOU
2.) This chapter wont be long. READ THIS! THIS CHAPTER WONT BE LONG. why? because of some reasons that i cant tell you guys. but i promise, the day after tomorrow (which means monday), I will update a longer chapter of MMA. really i promise, i cant be lying right in this Ramadhan day?
3.) If you got anything that you wanna ask to me, about everything (MMA or any random or not random questions) please ask me directly to my ask.fm: http://ask.fm/fikamw. why? because i am hardly to read all your comments or questions in here :(. Okay? Okay (Augustus and Hazel's styles. HAVE YOU WATCH THE FAULT IN OUR STARS? how do you think? because i need some recommendation to watch this movie)
Oke, here we go. I dont want to keep you too long, Have fun!
p.s: Please vote and become my fan? *puppy dog eyes*
p.s.s: I LOVE YOU GUYS!
p.s.s.s: HAPPY BREAK-FASTING FOR THOSE WHO ARE FASTING mehehehe
xoxo,
kyra
***************************************************************************************************************************************************************************************************************
“Oke satu, dua..... Nintya kamu kirian dikit dong sayang... Lagi-lagi.... Nah... iya bener itu.... Mana senyumnya? Say Cheese!” Sudah berpuluh-puluh kali aku mendengar kata-kata itu. Kalau tadinya aku mengeluh dan berkata bahwa mulutku terasa kaku dengan senyuman-senyuman yang aku tebarkan tadi, Keluhanku itu tidak ada apa-apanya dengan yang aku rasakan sekarang. Ya, memang bukan aku saja yang merasakannya, Laki-laki dingin nan angkuh dan pedenya setinggi gunung Himalaya yang berdiri di sampingku ini juga ikut merasakannya. Aku tidak tahu apakah hanya aku saja yang tidak menikmati saat-saat ini atau ia juga, tetapi Valdo tidak menunjukkan rasa ketidaksukaannya seperti aku.
“Valdo, sekarang tanganmu kamu taruh di pinggang Nintya.... Lagi... jangan hanya ditaruh saja tapi juga dirangkul.... Nah benar.... Sekarang ekpresinya mana?... Nintya senyum dong sayang jangan cemberut terus, Valdo aja udah ganteng itu senyumnya cakep.... Nah ya begitu benar.... Oke mulai ya? Satu... dua.... tiga,”
Memang aku akui bahwa Valdo tampan hari ini, tetapi bukan berarti aku harus terus berpose untuk foto dokumentasi pernikahanku ini. Orang tua Valdo dan mamaku setuju bahwa sungguh sayang moment bahagia ini (yang sebenernya hanya mereka yang menganggap bahwa ini adalah momen bahagia) jika tidak diabadikan menjadi sebuah foto. Memang benar pemikiran mereka, tetapi bukan berarti aku harus berpose selama 1 jam ini bukan?
“Ma, udah ah aku cape. Cape berdiri dari tadi, cape pose, apalagi cape senyum. Nggak tau apa mulutku udah kaku banget,” omelku kesal yang melihat mama sedang berdiskusi dengan mama Valdo dan fotografer yang mengambil gambarku dan Valdo. Aku tahu bahwa mereka masih ingin mengambil beberapa gambarku dengan Valdo. Tapi cukup, aku sudah tidak mau lagi. “Tanya aja Valdo, pasti dia juga udah cape. Yakan?” Aku menambahkan sambil menyikut Valdo diam-diam yang menghasilkan tatapan tajam dari dirinya. Aku membalikkan tubuhku dan berdiri didepannya untuk menyipitkan mataku dan menggerakkan mulutku untuk membisikkan sesuatu tanpa suara. Intinya: ayo cepet bilang iya ayo cepet!!
Alis kanan Valdo terangkat, seperti bingung melihat ekspresiku yang aneh atau bingung karena ia tidak bisa membaca bahasa bibirku. Tetapi sepertinya ia menangkap maksudku. “Iya tante Valdo rasa fotonya udah cukup,” ia memutarkan tubuhku agar membelakanginya. Aku tersenyum setuju dengan raut wajah yang berusaha meyakinkan Mama dan mamanya Valdo. “Tanpa fotopun, kenangan ini akan terus kami abadikan diingatan kami kok tante. Ya kan sayang?”
Tubuhku membeku. Senyumku yang tadi ada di bibirku, luntur. Bukan... bukan karena panggilan sayang yang Valdo lontarkan. Tetapi lebih karena tangan Valdo yang memeluk bahuku dari belakang. Tidak terlalu erat, tetapi tetap membuatku bisa merasakan hebusan nafasnya dikepalaku, merasakan dagunya berada di ujung kepalaku, dan mencium colognenya yang sudah sangat familiar itu. Anehnya aku tidak merasakan risih sama sekali dengan kedekatan ini, yang aku rasakan hanyalah perasaan.... nyaman.
Stop Nintya! Stop thinking nonsense! Aku yakin ini cuma karena aku capek yang membuatku berpikir yang tidak-tidak. Mana mungkin aku akan merasa.....
“Satu kali lagi Valdo satu kali lagi, itu pose kamu bagus sama Nintya!”
Aku merasakan Valdo menggelengkan kepalanya, “Nggak tante, aku yakin udah banyak pose lain yang lebih bagus dibandingkan ini. Lagi pula mama sama tante masa gamau ngeliat suaminya Nintya ini mengenal Nintya lebih jauh lagi? Aku sama Nintya belum ngobrol banyak dan belum tau apa yang kami suka satu sama lain,” Valdo sedikit melonggarkan rangkulannya dan memiringkan kepalanya agar sejajar dengan kepalaku, “Bukan begitu Nintya?”. Tanpa menunggu jawaban dariku sama sekali, Ia mengecup pipiku lembut. Meruntuhkan seluruh syaraf otak dan tubuhku.
Aku hanya bisa mematung. Mulut terbuka dan tertutup karena sedang mencerna apa yang terjadi, sangat mirip dengan ikan mas koki yang banyak dijual di abang-abang. Ekspresi mama dan mamanya Valdo sepertinya sama seperti ekspresiku, kaget dan takjub. Syaraf-syarafku masih belum bisa bekerja dengan baik, walaupun Valdo sudah melepaskan rangkulannya.
Sedangkan Valdo?
Hanya diam dan nyengir besar, persis seperti anak kecil sehabis mendapatkan coklat kesukaannya.
Ketika ia sadar bahwa aku sedang menatapnya, Valdo hanya mengedipkan matanya. Menandakan bahwa ia sukses menyudahi acara foto-foto ini.
Oh. God.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying Mr. Arrogant
Roman d'amour"Lebih baik kita setujui saja pernikahan ini," Valdo menatapku dingin, "setelah itu aku ceraikan kau. lagipula aku tidak suka dan tidak mau bersama dengan istri yang kerjaannya cuma menangis dan menangis. bikin penat kepala saja!" Aku menatapnya den...