Chapter 5

401 93 15
                                    

Kamis malam. Angin kencang berhembus menggoyangkan dahan-dahan pohon citrus keluarga Feather dan hujan turun lumayan deras. Padahal biasanya cuaca selalu hangat dan cerah. Di garasi rumah itu terparkir sebuah Corolla hitam, milik siapa lagi kalau bukan Colin sekeluarga.

"Tadinya kami ingin jalan kaki saja, tapi dengan hujan seperti ini, berjalan kaki ke rumah kalian sambil menenteng-nenteng pai daging tentu bukan ide bagus." kata Michelle sambil melipat payungnya yang basah di teras. Tom menyambut pai daging itu dengan riang gembira.

"Asyik! Ada pai!" Tom berlari ke dalam dan meletakkan pai itu di atas meja yang sudah tertata rapi, hasil jerih payah Sam.

"Oh, harusnya kalian tidak perlu repot-repot. Aku yang mengundang kalian makan malam." kata Mary.

"Ah, lupakan. Ngomong-ngomong ini Colin, dia satu sekolah dengan Sam." Michelle menyentuh bahu Colin dan cowok itu menyalami Mary, "Dan ini Phillippe, suamiku."

Phillippe menjabat tangan Mary dan Sam sembari menyapa ramah, "Halo."

Tidak seperti Michelle, Phillippe nyaris tidak terdengar, atau terlihat, seperti orang Perancis. Posturnya tinggi dan lumayan tegap, rambutnya sewarna kayu mahoni dan sekarang Sam tahu dari mana Colin mewarisi mata kelabunya yang teduh. Namun jelas Colin jelas bukan mewarisi warna rambutnya dari ayahnya. Dia mewarisinya dari Michelle.

Setengah jam kemudian, piring-piring dan meja makan sudah terisi dengan berbagai jenis makanan lezat dan pencuci mulut menggiurkan. Meja makan keluarga Feather berbentuk bundar dan tidak terlalu besar, tapi entah bagaimana mereka bertujuh dapat makan bersama di situ dengan nyaman. Phillippe rupanya tipe pria yang berselera humor tinggi, Sam berulang kali tersedak akibat menahan tawa karena lelucon yang dilontarkannya, mengakibatkan Mary harus berulang kali menyikutnya di bawah taplak meja. Michelle mengobrol dengan Mary, bercerita bahwa suaminya memang memiliki darah Amerika dari ibunya. Tidak mengherankan logatnya begitu sempurna dan bakatnya itu rupanya menurun pada Colin.

Di suatu selang saat Sam sedang memperhatikan Colin yang kebetulan duduk di sebelah Lou, dia mendapati Colin mengambil potongan terakhir puding karamel yang diinginkan Lou. Lou menarik-narik ujung kaus Colin. Rupanya cowok itu menyadari tatapan penuh harap Lou, dan bertanya, "Kau mau ini?"

Lou mengangguk, dan segera saja piring plastiknya terisi lagi dengan puding milik Colin.

"Keleeen. Telima kasih!" Lou tersenyum dan melahap puding itu dengan gembira. Pemandangan yang membuat Sam takjub sekaligus sakit hati.

"Dia bahkan nggak pernah bersikap semanis itu padaku!" protes Sam agak tidak terima, "Kau biasanya langsung berteriak-teriak dan merebut sesuatu dariku."

Lou hanya menjulurkan lidah penuh saus karamelnya pada Sam, diiringi cengiran Colin.

Pada pukul setengah sembilan malam, ketika akhirnya piring-piring sudah kosong, perut-perut terisi penuh, dan hujan sudah reda, Mary mengajak Michelle dan Phillippe ke ruang keluarga. Sepertinya Michelle tertarik dengan baju-baju jahitannya yang dipajang di rak gantung. Sementara itu Tom dan Lou bermain ular tangga di ruang televisi, ditonton oleh Colin dan Sam. Lou bermain sembarangan—mengingat dia masih dua setengah tahun—dan Tom akhirnya putus asa. Setelah selesai menidurkan kedua adiknya, Sam turun lagi ke ruang televisi, mendapati Colin sudah tidak ada di sana.

Sam mencarinya ke dapur dan ruang keluarga, tempat ibunya dan pasangan Faugere tengah membicarakan bisnis. Colin tidak ada di mana-mana, sampai akhirnya Sam melongok ke luar jendela dan menemukannya sedang duduk di atas pagar halaman.

"Ngapain kau gelap-gelapan di sini?" Sam keluar dan menghampiri cowok itu sambil merapatkan jaket. Di luar udaranya dingin dan rumput yang diinjaknya masih basah. Colin duduk menghadap jalanan. Sam berhenti di belakangnya.

CitrusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang