Chapter 13

315 68 8
                                    

Sam harus kenyang menahan malu ketika Bill terbahak-bahak di hadapannya, Sabtu siang itu.

"Dia bertanya tentangku?" ulangnya.

"Yeah."

"Dan kau bingung?"

"Yeah." Sam menyedot sodanya dengan berisik.

Bill menghapus air matanya yang keluar akibat kebanyakan tertawa. Kemudian dia bersandar di kursinya, kursi plastik warna biru aqua dengan label Fish 'n Chips kecil di sudut kanan bawah sandarannya.

Begini kronologi singkat bagaimana mereka berdua bisa berakhir makan siang di restoran cepat saji yang kira-kira sudah dua tahun belakangan tidak Sam kunjungi itu. Bill menjemput Sam tepat pukul sepuluh dengan motor besarnya. Sedikit obrolan ringan dan pujian dari Bill soal baju baru Sam—"Bajumu keren." katanya—dan tanpa basa-basi langsung membawa Sam ke Fish 'n Chips. Tempat di mana Sam sempat bersumpah tidak akan pernah datangi lagi.

Akibatnya, saat ini Sam terpaksa duduk di salah satu kursinya, menyedot soda dari gelas plastik ukuran sedang dan kentang berbumbu yang digoreng kering tersaji di hadapannya. Oh ya, juga Bill yang masih terbahak-bahak di hadapannya.

Setelah dengan cukup sabar menunggu histeria Bill sedikit mereda—maklum, dia sudah lama tidak makan burger ikan Fish 'n Chips—Bill akhirnya menyeletuk.

"Kau boleh jadi murid jenius Dartville, tapi kau bloon banget masalah beginian, Sammy." ungkap Bill, "Sadar nggak sih? Colin naksir kau."

Tidak, tidak ada soda dari mulut Sam yang menyembur keluar, tahu kan, seperti yang kebanyakan terjadi ketika seseorang memberitahumu sesuatu yang menghebohkan? Sam hanya meletakkan gelasnya pelan-pelan ke atas meja dan menelan sodanya dengan susah payah, karena mendadak tenggorokannya terasa sempit sekali.

"Ha. Ha. Kau belum pernah bertemu dengannya tapi kau berani bilang dia menyukaiku."

Bill ikut meletakkan gelasnya, "Aku berani bertaruh, pelayan di balik konter itu juga bakal langsung setuju kalau mendengar bagaimana kau bercerita tentang cowok itu."

"Astaga." Sam terenyak, "Beberapa tahun di Minneapolis nggak membuatmu kehilangan sifat sok tahu..."

Bill hanya menatapnya sambil tersenyum jahil. Sudah lama Sam tidak menerima pandangan seperti ini. Menyebalkan, tapi sekaligus sangat menggemaskan.

Hari ini Bill menggerai rambut lurusnya begitu saja. Dia hanya menjepit beberapa helai poni ke atas agar tidak menjatuhi mata. Penampilannya, canggih seperti biasa. Dia tampak keren hanya dengan skinny jeans, kaus abu-abu lusuh bergambar peta benua Afrika yang diberi mata juga mulut, serta jaket kulit yang tadi dia kenakan ketika mengendarai motor—sekarang dia sampirkan di sandaran kursi. Mereka duduk di tempat di dekat pintu masuk yang strategis, memungkinkan Sam untuk diam-diam memperhatikan bahwa ada beberapa pasang mata di restoran itu yang mencuri pandang ke arah Bill. Termasuk si pelayan di balik konter.

Tidak heran, sih. Bill begitu enak dilihat.

"Cewek rambut pirang yang duduk membelakangi kita di meja nomor tiga ngeliatin kau lewat cermin bedaknya." Sam mengadu.

"Lalu?" kata Bill dengan nada kau-tahu-itu-nggak-membuatku-tertarik.

Setelah itu mereka mengobrol lama. Pekerjaan Bill, sekolah Sam, bisnis menjahit Mary, toko CD di seberang jalan, serial televisi kacangan favorit Bill, roti burger Fish 'n Chips yang pinggirannya terlalu garing, tentang apa saja. Bill fleksibel. Dan Sam cepat menyesuaikan diri dengan tempo dan suasana hati cowok itu yang cepat berubah-ubah. Mungkin ini salah satu alasan mengapa beberapa saat kemudian ekspresi Bill mendadak suram. Dia melipat kedua lengannya di atas meja. Matanya menatap Sam dengan intens dan serius, kemudian dia berdeham sedikit. Sam berhenti menggigiti sedotannya. Hanya dengan mengamati gerak-geriknya saja, Sam tahu bahwa obrolan mereka ini akan segera berubah menjadi semacam pembicaraan 'sakral'.

CitrusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang