Chelsea menghembuskan napas panjang ketika bel pulang berbunyi. Bangkit dari tempat duduknya, Chelsea keluar dari ruang latihan karate dan menemukan Bagas berdiri di depan pintu. Mengabaikan pria itu, Chelsea berjalan tanpa menghiraukan Bagas.
"Chel, gue minta maaf. Gue sangat menyesal. Harus berapa kali lagi gue meminta maaf? Gue juga manusia, Chel. Tolong ... Gue lelah terus bertengkar sama lo seperti ini. Gue tahu gue salah. Tapi, gue mohon ... Maafin gue." ucap Bagas membuat langkah Chelsea terhenti. Gadis itu menoleh dan menatap tajam Bagas dengan mata yang sudah merah menahan air mata.
"Lo tahu apa yang paling gue sesali? Itu adalah saat gue kenal sama lo. Dan lo fikir, gue tidak berusaha untuk tidak bertengkar sama lo? Gue juga lelah, boy. Lebih lelah dari yang lo duga. Jadi, gue harap ... " Chelsea menyatukan dua tangannya. "Hingga ujian kenaikan kelas, sebaiknya kita gak usah berkomunikasi apapun. Persis seperti ketika dulu lo permaluin gue di depan anak-anak." ucap Chelsea
"Chel. Lo masih aja membahas itu? Kejadiannya sudah lama banget." Bagas frustasi
"Gas! Lo gak cuma bikin gue malu di depan anak-anak satu sekolah! Lo bikin gue trauma!. Lo gak tahu kan? Setelah lo dan temen-temen brengsek lo ninggalin gue di lapangan, gue harus terapi selama 3 bulan karena gue takut ketemu kerumunan orang! Dan setelah gue bisa ketemu sama cowok yang berhasil bikin gue normal lagi, lo malah bikin dia mati! Lo tuh bukan manusia, Bagas!!" teriak Chelsea berurai air mata. Bagas yang mendapati fakta tersebut, tentu saja begitu terkejut. Yang Bagas tahu, Chelsea hanya kehilangan kekasihnya. Dan memang benar itu di sebabkan Bagas. Tapi ia tidak tahu kalau Chelsea bahkan sampai mengalami trauma.
"Dan lebih parahnya lagi, dampak yang lo timbulin dari kelakuan lo itu ada sampai sekarang! Lo kira gue benar-benar sudah normal? Gue takut Gas tiap lihat orang beramai-ramai datang ke arah gue! Belum lagi keluarga Alvin yang terus menyalahkan gue! Lo gak tahu itu kan, Gas? Lo hanya datang ke keluarga mereka dan minta maaf serta membayar uang ganti rugi. Selesai! Tapi gue enggak. Setiap saat mereka mengulang kalimat yang sama. Sementara lo dan mereka gak tahu betapa gue masih terus terbayang-bayang kematian Alvin. Gue takut. Dan kalian tidak mengerti soal itu!" Chelsea mengatur napasnya yang tersengal. Keluar sudah apa yang selama ini mengganjal dalam hatinya. Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut, Chelsea berlalu dari hadapan Bagas tanpa menoleh lagi. Sementara Bagas masih belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Fikirannya di penuhi banyak hal. Kenyataan yang ia terima benar-benar menampar telak. Bagas tidak tahu sedikitpun soal dampak yang ia tinggalkan untuk Chelsea ternyata bisa menjadi sefatal itu. Menghela napas panjang, Bagas mengamati Chelsea yang berjalan dengan cepat menuju parkiran utama.
_
Chelsea menghapus kasar air matanya. Ia bahkan mengabaikan Marsha yang sudah memanggilnya heboh. Dengan segera Chelsea berjalan cepat keluar sekolah, meskipun tidak tahu harus kemana dan melakukan apa. Sampai ketika ia merasa lelah, Chelsea baru berhenti dan menyadari bahwa ia sampai di taman kota. Cukup jauh dari sekolahnya. Duduk di salah satu bangku taman, Chelsea memandang kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya. Taman tersebut tidak cukup besar dan berada tepat di samping tempat ibadah umah budha. Di depan taman terdapat patung jam. Chelsea mendongak dan melihat waktu yang tertera di sana. Pukul 14.50. Merogoh saku seragamnya, Chelsea mengambil ponsel dan memesan taksi online untuk pulang. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat tersebut. Keinginannya sekarang hanya pulang dan tidur. Itu lebih baik di banding Chelsea harus menahan emosi karena memikirkan Bagas.
Setelah mendapat respon dari pengemudi taksi online, sembari menunggu, Chelsea melihat jalan di depannya. Sampai retinanya bertemu dengan seseorang yang tidak asing di matanya. Gilang?. Chelsea memicingkan mata untuk memastikan bahwa yang ia lihat memang Gilang. Gilang Prakasa. Teman satu sekolah sekaligus ketua OSIS sekolahnya. Dan Chelsea jelas tahu Gilang begitupun sebaliknya. Gilang pernah meminta Chelsea, ah bahkan beberapa kali, agar Chelsea bernyanyi di acara yang di adakan sekolah maupun di luar sekolah. Chelsea cukup mengenal baik Gilang meskipun Chelsea rasa tidak begitu dengan pria itu.
Lamunan Chelsea buyar ketika suara klakson mobil berbunyi. Gadis itu menoleh dan menemukan taksi pesanannya sudah datang. Mengabaikan keberadaan Gilang, Chelsea segera masuk ke dalam mobil tanpa tahu kalau Gilang diam-diam memerhatikan dirinya.
Belum dua menit perjalanan, lamunan Chelsea di buyarkan oleh suara dari pengendara taksi online tersebut.
"Kamu sekolah di SMA 1 juga, ya Mbak? Adek saya juga sekolah di sana." senyumnya masih dengan mata fokus ke jalanan.
"Ah, iya Mas. Adek Mas kelas berapa kalau boleh tahu?" tanya Chelsea sekadar berbasa-basi.
"Kelas dua di jurusan IPA 1. Namanya Gilang. Mbak kenal?" ungkaonya dan membuat Chelsea cukup terkejut.
"Gilang Prakasa?" tanya Chelsea untuk memastikan dugaannya.
"Ya! Ah, Mbak tahu? Padahal dia pendiam sekali." senyum pria itu. "Syukurlah kalau dia punya banyak teman. Saya kadang khawatir dengan sikapnya yang sedikit tertutup."
"Dia ketua OSIS di sekolah kami." jujur Chelsea.
"Benarkah?! Kenapa dia tidak bilang soal itu?" kaget pengendara taksi tersebut. "Lihat saja anak itu kalau aku sampai di rumah" gumamnya yang masih bisa di dengar Chelsea. "Ah, maaf Mbak. Nama saya Raffi." ia memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan.
Chelsea membalas uluran tangan tersebut sambil mengangguk, "Chelsea." jawabnya singkat.
"Apakah kamu Agatha Chelsea?!" kagetnya lagi.
"Iya. Masnya kenal saya?" tanya Chelsea.
"Tentu saja! Kamu yang setiap akhir minggu menyanyi dan membawakan puisi di radio pusat, bukan? Suaramu bagus dan puisi-puisi karyamu juga keren. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengamu. Keren sekali! Boleh aku minta foto denganmu?" cerewet Raffi yang mendadak membuat bibir Chelsea terangkat ke atas. Entah kenapa Chelsea semakin di buat nyaman dengan pria di sampingnya itu.
"Rumah saya di depan Mas." ucap Chelsea ketika rumahnya sudah terlihat. Ia mengabaikan kalimat panjang Raffi sebelumnya.
"Oh! Tentu." Raffi menghentikan mobilnya dan setelah mengambil foto bersama Chelsea, pria itu melambai ke arah Chelsea dan berlalu dari hadapan gadis itu. Chelsea tersenyum simpul. Entah kenapa Raffi mengingatkan dirinya pada Alvin. Dan Chelsea merindukan pria bermata sipit tersebut.
_
Bagas duduk di atas jok motornya dengan diam. Ia terkejut ketika seseorang memukul bahunya keras.
"Apa lagi yang lo lakuin sama Chelsea?" itu suara Marsha. Mendengar kalimat tersebut, Bagas menghembuskan napas panjang dan menatap Marsha dalam.
"Sha, ternyata gue jahat baget, ya?" ungkap Bagas.
"Iya. Itu kenapa Chelsea benci sama lo." jawab Marsha enteng sambil melipat tangan di depan dada. "Gas. Gue gak tahu persis apa yang terjadi antara lo sama Chelsea. Yang gue dengar dari anak-anak bahwa lo pernah bikin Chelsea malu di depan umum karena kejahilan lo. Tapi gue percaya masalah kalian gak sesederhana itu. Chelsea gak akan sampai sebenci itu sama lo hanya karena di permalukan. Sebenarnya, apa masalah kalian?" tanya Marsha.
Bagas kembali menghela napas.
"Gue tidak tahu harus bagaimana lagi." curhat Bagas sambil memakai helm-nya dan menghidupkan mesin motor."Kalau lo butuh bantuan, mungkin gue bisa bantu." ucap Marsha yang di angguki Bagas sebelum pria itu keluar gerbang sekolah.
Bagas mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Memikirkan rencana untuk meminta maaf pada Chelsea. Apa sebaiknya ia datang saja ke rumah gadis itu dan meminta maaf secara resmi pada keluarga Chelsea? Ya, mungkin bisa di mulai dari hal itu. Dengan segera, Bagas menambah kecepatan laju motornya untuk kembali ke rumah. Malam ini juga, ia akan ke rumah Chelsea.
_
KAMU SEDANG MEMBACA
Find Me On You
FanfictionKalau Chelsea boleh memilih, ia tidak ingin bertemu atau mengenal Bagas Rahman. Tapi Chelsea hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang memutuskan. Dan pada akhirnya, Tuhan justru membuat Chelsea harus terlibat terus menerus bersama Bagas.