prolog

54 7 0
                                    

disebut prolog karena berada pada awal cerita.

setahun yang lalu ayahnya mendapatkan kabar bahwa anaknya kabur saat ujian Matematika.
kaget bukan main, padahal malamnya sudah belajar dilanjut hingga subuh.
ayah hanya diam, menahan malu anaknya harus mengikuti ujian ulang.

bagaimana tidak?

ekspresi Juna mengeruh saat membaca tulisan yang terpajang di pintu rumah saat ia baru saja pulang dari rumah temannya.

kejadian yang asal muasalnya bertumpu pada saat ia menginjak masa masa kelas dua SMP, memalukan sekali.

sebab Juna sedikit depresi dengan pelajaran Matematika yang menghantuinya selama tiga setengah jam kedepan.

akhirnya, Juna kabur.

robekan kertas yang sudah kumuh itu ditemukan kembali oleh Febria, adik Juna.

dengan lantangnya ia menertawakan kelakuan kakaknya semasa SMP dulu.

melihat raut wajah Juna yang sedikit memerah, Febria puas tertawa dari balik tirai.

-----

"abah, Juna pulang" ucap Juna kepada Abahnya. Juna langsung berbalik menuju kamar.

"jam berapa ini, Jun?"

jawaban Abah membuat Juna menghentikan langkahnya.

Juna melirik jam yang tergantung di dindingnya, menunjukkan pukul 11 lebih 20 menit.

jangankan Abah, Juna saja kaget dia bisa pulang selarut ini.

"kok Juna nggak jawab pertanyaan Abah?" Abah mengulangi lagi pertanyaannya.

"jam setengah dua belas, Bah" jawab Juna dengan pasrah.

"Juna baru aja masuk SMA, Abah cuma pengen Juna belajar yang serius, banggain Abah sama Ibu" ucap Abah sambil mengganti channel televisi.

sudah Juna duga Abah tidak akan marah. hati Abah terlalu lembut.
bahkan ketika Juna bermain petasan dan nyaris membakar teras rumah, Abah hanya mengelus rambut Juna dan memadamkan apinya sendirian.

Abah menjamin keselamatan kedua anaknya.

Ibu juga sama. Abah dan Ibu orang yang sabar.

"Juna kerjain tugas, Bah"

Abah yang sudah tenang menonton acara telenovela kesukaannya, menoleh lagi.

"tugas apa?"

Juna menarik napas, lalu menghembuskannya dengan berat. "mm-matematika, Bah" jawab Juna dengan gerogi.

Abah hanya tersenyum kecil. Pandangannya kembali tertuju ke televisi.

"yang penting sudah usaha Juna sendiri, Abah tetap bangga Juna sudah berusaha" ucap Abah dengan raut wajah tenangnya.

Setelah itu, Abah menyuruh Juna untuk segera tidur sebelum hari semakin larut.

Juna menurutinya, ia segera tidur tanpa aba aba.

-----

03:20

Juna terbangun.
Ia tidak bisa tidur, hanya memejamkan mata saja.

Pikirannya entah pergi kemana. Rasanya dia menyesal telah membohongi Abah.

Juna bukan pergi buat belajar Matematika.

Tapi jika Juna jujur pada Abah, apa Abah masih tetap tidak marah?

Juna duduk di atas kasur, membongkar-pasang mesin mobil remotnya, untuk mengisi kekosongan.

tiba tiba ada suara pintu diketuk, saat terbuka, ternyata Abah yang datang untuk memeriksa kamar Juna yang lampunya masih menyala.

karena Juna tidak pernah tidur dengan lampu menyala.

Abah yang wajahnya terlihat lelah sekali, menghampiri Juna yang kaget melihat Abah tiba tiba masuk kedalam kamarnya.

"Juna kok nggak tidur? main mobil remotnya besok kan bisa" ucap Abah.

jantung Juna berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya. darahnya mendesir terlalu cepat sehingga keringat dingin menjalar seluruh tubuhnya.

"mmm, Abah. Juna mau tanya"

wajah Abah mulai serius mendengarkan apa yang belum keluar dari mulut Juna.

"sebenernya, tadi Juna nggak belajar matematika.." Juna terbata bata. "Juna pergi sama temen temen Juna ke rumah temennya Juna.."

Abah menaikkan satu alisnya. Tidak menyela penjelasan Juna sama sekali.

"Juna ngerokok, Bah. Juna juga hampir mabuk tadi..." Juna menunduk hingga dagunya menyentuh dada.

Abah masih tidak bereaksi.

Juna tidak berani mendongak menatap mata Abah.

"Abah boleh tampar Juna, Juna memang pantes ditampar. atau Abah mau pukulin Juna? Abah gak kasih makan Juna satu minggu? Gapapa, Bah. Juna pantes nerima itu semua" ucap Juna tanpa menghadap Abah.

terdengar suara isakan tangis seseorang yang duduk menyamping tepat di depan Juna, ya. Abah.

Abah menangis.

"Juna, Abah tau semuanya. Soal Juna ngerokok, Juna mabuk, Abah tau. Abah hanya ingin tau kejujuran Juna
Abah tau, Juna sudah besar. Tapi, bukan dengan seperti itu cara untuk mengungkapkan suatu kedewasaan. Juna harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah" ucap Abah sambil memegang pundak Juna yang tertunduk lesu.

Abah yang hanya mengelus kepala Juna, Abah yang hanya menasihati Juna.
Abah yang tidak menampar, memarahi, dan mengurangi jatah makan Juna. Abah tetaplah Abah.

Juna memeluk Abah, membenamkan wajah di bahunya, menangis tersedu sedu dalam pelukan Abahnya.

"Juna sayang Abah"

Abah memang selalu mengiyakan keinginan Juna. Abah memperlakukan Juna tetap sebagai anak laki-laki kesayangannya.

begitupula Juna, yang sampai tak kuasa untuk berkata bohong didepan Abahnya.

Juni untuk JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang