Senja mulai mengabur dari pandangan diiringi hembusan similar angin. Bumi masih berotasi, begitu juga kaki yang tak henti melangkah. Pasir yang sebagai pijakan kaki-kaki mungil itu nampak berkilauan walau langit berganti warna. Suara ombak ringan di telinga tak berbatas cakrawala. Kala itu dua manusia kecil berusia 9 tahun tengah dihanyuti perasaan yang membuat dada berdesir. Sayangnya tak semua manusia dapat memaknai cinta di usia semuda itu, berlaku juga untuk mereka.
"Lian, besok kamu jadi mengajakku ke istana awan kan?"
Anak lelaki yang namanya baru saja dipanggil itu menoleh dengan senyum ragu-ragu terpasang di bibir mungilnya. "Kamu memangnya seingin itu pergi kesana?"
Sebuah anggukan antusias menyambut pertanyaan yang diajukan Lian. "Sebelum aku pergi, tentu saja."
"Kalea." Panggil Lian sedikit bergetar. "Siapa bilang aku mengizinkan kamu pergi?"
Kali ini Kalea menatapnya dengan harap cemas. "Tapi aku tetap harus pergi."
"Jadi kamu tidak mau mendengarkan kata-kataku ya?" ujar Lian menimpali dengan kesal.
Kalea menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan begitu. Papa dan Mama akan pergi ke negeri kincir angin. Aku tidak ingin sendirian di rumah."
"Kan ada aku! Aku bisa menjagamu sepanjang hari." Ucap Lian dengan suara lantang memecah kesunyian yang sempat hadir diantara keduanya.
Kalea sontak memanyunkan bibirnya ke depan. "Aku tidak percaya. Kamu saja masih takut tidur sendirian dan harus dikeloni Mbak Sani."
Ujaran itu berhasil membuat Lian menggerutu kesal. "Aku bukannya penakut, Lea. Tapi aku cuma ingin ditemani."
"Terserah kamu saja deh." Jawab Kalea asal sembari menghambur-hamburkan pasir di sekitarnya.
Perpisahan tak lama lagi akan menyapa kedua manusia kecil ini. Tak ada yang mengharapkan kedatangannya. Tidak Lian, ataupun Kalea. Entah atas nama persahabatan atau bukan, mereka tidak ingin semuanya berakhir. 9 tahun bukanlah waktu yang singkat. Mereka saling menjadi saksi tumbuh-besar satu sama lain. Seolah semua berjalan sesuai garis takdir Tuhan. Tetapi, siapa sangka kebersamaan ini akan segera berakhir.
"Kamu-"
Kalea tidak menghiraukan ucapan Lian. Ia masih asik dengan pasir-pasir putih yang memenuhi kedua tangannya.
"-benar ingin melihat negeri awan?"
Senyum di bibir Kalea mengembang begitu saja. "Memangnya kamu bisa menunjukkannya padaku?-"
Lian tidak menjawab.
"-Kamu bisa membawaku ke atas sana?" Lanjut Kalea sembari mengangkat tinggi-tinggi telunjuknya ke arah langit yang mulai meredup cahayanya.
Lian tersenyum kaku. "Aku bisa, Lea. Tetapi tidak sekarang."
Perlahan binar wajah Kalea meredup.
"Nanti. Pegang janjiku. Kalau aku sudah menjadi pilot, kamu orang pertama yang aku ajak melihat negeri awan." Tutur Lian tanpa keraguan.
Kalea meneteskan butir-butir air mata. "Awas saja kalau bohong."
"Iya, cewek cengeng."
-------------------------------
HOLA-ALOHA UNTUK SELURUH NETIZEN DAN SEGENAP WARGA WATTY.
Gimana sama cerita baru gue ini?
Astatank, sebenarnya aku udah lama banget mau nulis watty lagi.
Tapi yaAlloh, banyak rintangannya sroy.
HEHEHE gak papa bergaya seeutik mah ya.
OKEEY, JANGAN LUPA KASI VOTE DAN TINGGALKAN KOMENTARMU DI KOLOM KOMEN.
XOXO, Dalei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adamantine
Teen FictionKau percaya di dunia ini benar adanya cinta sejati? Kean. Keanu Mattheios Athena. Dia tidak percaya. Namun dari milyaran jumlah populasi manusia di bumi, entah mengapa alam semesta mengizinkan Mikalea mengenal sosok misterius satu ini. Ini bukan k...