Pelajari rasa sakitnya
Dan kau akan tahu mengapa banyak orang berjuang untuk sembuh darinya
________
Aku terlalu nyaman dengan ruang kamarku sampai lupa bahwa beberapa kali sudah telepon rumahku berdering selama seharian kemarin. Aku mendapatkan kabar bahwa Pak Jinbom, guru konseling di kelasku, tengah menelpon rumahku kemarin. Aku tak menjawabnya dan aku yakin dia pasti mendesah memikirkan si miskin yang tak niat sekolah ini.
Senin ini aku kembali terbangun, kembali berjalan, dan kembali memasuki sekolah. Aku bisa menebak dari depan pintu nanti ada beberapa dari mereka yang tengah menatapku dengan aneh dan aku menjadi pusat perhatian lagi yang entah tak tahu dirinya, aku masih ingat dengan sekolah.
Masih ada delapan bulan lagi menuju kelulusan. Tuhan, kenapa waktu di bumi ini berjalan begitu lambat. Aku pernah membaca ensiklopedia jika Merkurius adalah planet yang berevolusi paling cepat, yaitu sekitar 88 hari ia mengelilingi matahari. Bayangkan jika satu tahun ajaran ada 88 hari, mungkin aku sudah lulus dari jauh-jauh hari dan menjadi pengangguran juga tentunya pada saat itu.
Gerak kakiku secara otomatis terhenti di depan pintu kelas. Suara tawa yang begitu nyaring menyambutku dari luar. Ayo Hyesang, kau bisa melewatinya. Aku harap mereka semua tak heboh dengan kedatanganku—
BUGH!!
"Aaww!!"
Belum juga bernafas lebih lama di dalam ruangan ini, kepalaku langsung tebentur bola basket dengan begitu keras. Sial! Selain lemparan bola basket, bonusnya aku juga mendapatkan suara tawa mereka dengan heboh sekaligus ejekan 'si cacat kembali'. Ya, terima kasih, tapi aku kembali bukan untukmu.
Aku berjalan tanpa menghiraukan mereka dan wajahku tak menunjukkan sedikitpun emosi karena itu bisa mengundang perhatian mereka dengan lebih. Ada peraturan yang harus aku terapkan ketika berada di dalam kelas ini.
Jangan menunjukkan emosi. Entah itu menangis ataupun tersenyum. Itu akan mengundang, jika menangis aku dianggap lemah dan jika aku tersenyum maka aku dianggap gila. Sudah lemah dan gila, label buruk apalagi yang akan kudapatkan selain cacat dan dua itu nantinya.
Dari depanku, aku dapat melihat murid baru bernama Mark Lee itu tak sengaja melihatku sekilas sebelum ia sibuk dengan bukunya lagi. Aku jadi teringat dengan kejadian semalam dan beberapa hari yang lalu. Aku bertemu tak sengaja dengannya pada keadaan yang kurang menguntungkan. Tapi pagi ini aku tak mendengarkan satupun makian berupa 'kau mau bunuh diri ya, cacat?' atau 'jadi kau bekerja seperti orang miskin' dari mulut anak kelas.
Dia tak memberitahu soal yang terjadi padaku di waktu lalu dengan anak kelas?
°°°°°
Jam istirahat siang.
Aku paling suka ketika suasana kelas menjadi sepi seperti ini, di mana jam istirahat, semua temanku menghilang dari dalamnya karena kini mereka sedang sibuk makan di kantin ataupun melakukan kegiatan yang tak membawa pentingnya bagiku.
Aku tak perlu mendengarkan suara tawa, jeritan heboh para penggosip perempuan di meja belakang ataupun kegaduhan yang disebabkan oleh para preman di kelas ini. Sejujurnya aku sensitif ketika mendengar suara ribut seperti itu. Telingaku akan bereaksi dengan mengeluarkan nyeri hebat sambil terus berdengung. Sensasinya bisa menyentrum otakku seketika. Sakit seperti ini telah mengangguku sejak aku berusia sepuluh tahun.
Puncaknya terjadi di hari kematian ayahku. Ibu sering bersedih dan menjerit sambil memelukku, aku kerap ketakutan apalagi jeritannya saat itu sangatlah keras. Ibu berjerit dan tubuhku bereaksi dengan merinding parah. Ada sesuatu yang memberikan otakku sebuah sinyal berupa emosi ketakutan yang cenderung berlebihan dan itu sangatlah buruk. Selama ini aku selalu menahannya saat anak kelas terus menyorakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
monochrome [TERBIT]
Fiksi Penggemar[TERBIT DI HAEBARA PUBLISHER | SEBAGIAN CERITA TELAH DIHAPUS] ACT - COLOR BLIND UNIVERSE ❝Tuhan itu adil. Tetaplah hidup dan aku akan menjadi pelangimu.❞ Ada banyak cara untuk jatuh tapi juga ada banyak usaha untuk bangkit dari tekanan. Jang Hyesan...