Flashback(1)

1.4K 140 9
                                    

7 tahun kamu telah keluar dari group BTS. Dengan susah payah kamu meninggalkan mereka. Dan sekarang mereka akan bubar bukan?

Lebih baik aku tidak menontonnya.

"Nona (Y/n), ada sebuah surat untukmu yang terletak di ujung pagar," ucap salah seorang staff yang baru saja kau lantik kemarin.

"Hmm? Coba bawa padaku," ucapmu halus dan kembali menatap jendela.

Perusahaan yang telah kau bangun selama 7 tahun ini. Semua caci maki dan hal buruk lainnya yang telah kau telan. Berbuah manis. Setidaknya dalam ekonomi, kamu tidak perlu pusing. Semuanya ada dan dapat dibeli olehmu kapan saja.

Kecuali waktu untuk kembali.

*flashback*

Kamu menatap beberapa orang yang lebih tinggi darimu dengan sangar. Mereka tampaknya ssaeng fans Jimin. Kamu tahu apa yang kau lakukan salah. Tapi tampaknya tubuhmu bergerak begitu saja.

"Ada apa?" tanyamu dengan tangan yang sudah siap menembus perut perempuan sangar itu.

"Dih, masih sok aja lo. Sok-sokan deket sama Jimin gue. Lo ga pikir manusia murahan apa lo tuh? Beraninya deket-deket Jimin. Emang lo cantik? Cuih," ludahnya di mukamu.

"Oh, dan kau pikir mukamu cantik? Lebih baik anjing daripada mukamu tahu. Setidaknya anjing lebih baik daripada kamu yang sok kaya putri di siang bolong," ucapmu sambil mengambil sapu tangan lalu mengelap mukamu.

Betapa bodohnya aku.

Tanpa ampun mereka memukulimu dengan tongkat baseball mereka. Mereka ada 4 orang dan memakai tongkat yang sama untuk memukulimu. Sebenarnya, tanganmu sudah siap menancapkan pisau ke perut mereka. Tapi akal sehatmu berusaha membiarkan mereka terus memukulimu.

15 menit yang terasa seperti neraka berlalu begitu saja meninggalkanmu dengan luka yang cukup parah.

"Sial," desismu perlahan mencoba mencari tempat untuk berteduh.

Hujan kini menemanimu.

Kamu bersandar pada sebuah pohon yang cukup rimbun. Tidak ada yang ingin berdekatan denganmu. Semuanya menjauh. Semuanya takut. Takut apa? Kamu juga tidak mengerti.

"Sialan! Sial! SIAL!!" teriakmu frustasi sambil mengacak rambut pendekmu.

"Apa salahku? Hah?? Aku muak dengan semua ini!!" perlahan matamu mulai mengabur dan semuanya menjadi gelap.

Hmmm sakit

"Nak, sudah bangun?" ucap seorang lansia kini duduk di sebelah ranjang rumah sakit dimana kamu sedang terbaring dengan infus yang memenuhi tangan kananmu.

"Emm ya. Anda siapa ya?" ucapmu perlahan.

Lansia itu perlahan mengambil tanganmu lalu menangis tersedu-sedu.

"Eh?? Ada apa ya? Apa saya kenal anda?" tanyamu bingung dan lagi kini kamu berada di dalam kamar VIP.

Sebenarnya apa yang terjadi disini??

"Aku adik ibumu, Nak (y/n)," ucapnya membuatmu tertegun. "Sudah lama aku mencarimu."

"Hah? Untuk apa?"

"Ada wasiat yang hanya bisa dibuka olehmu. Sehari sebelum Ibumu meninggal, dia memberiku sebuah surat dan disitu tertera namamu."

"Kenapa? Mau meninggalkan aku lagi? Setelah kubuka apa anda juga akan melakukan hal yang sama dengannya?"

"Nak, tolong mengertilah. Aku datang kesini bukan hanya menguntungkan diriku sendiri. Aku juga belum punya suami dan aku berpikir untuk membesarkanmu."

Halah bacot

Kamu terdiam menatap sinis lansia itu. Sepertinya ia menyadari tatapanmu dan langsung memberimu surat yang ia maksud.

"Ini. Bacalah. Ini dari mendiang ibumu."

Kamu mengambilnya lalu merobek ujung amplop itu dengan hati-hati.

"Nak (y/n). Maaf sudah meninggalkanmu. Ibu sungguh meminta maaf darimu. Sudah setahun ibu menulis surat ini. Ibu tahu kalau kamu membenci ibu. Ibu takkan menyalahkanmu. Ibu sekarang merasa sangat bersalah. Maaf. Maaf (y/n). Satu hal yang ingin ibu sampaikan. Tolong temukan Elizabeth. Dia anak perempuan yang terlahir sesudah kamu dipungut oleh kami. Ibu tidak tahu kalau Elizabeth masih mempunyai rasa terhadapmu. Rasa menyesal telah lahir. Lahir dan membuatmu susah. Dia pernah berkata kalau dia akan pergi menemui. Ibu tidak tahu keberadaan Elizabeth. Tapi ibu tahu dia tidak akan meninggalkan dunia sebelum mengatakan sesuatu padamu. Tolong temukan dia dan bicaralah dengannya. Ibu hanya menitip salam cium padamu dari jauh hingga saatnya nanti ibu harus pergi. Terima kasih (y/n)."

Kamu diam. Tak ada satu kata yang berniat lolos dari mulutmu.

Hingga akhir hidupnya dia bahkan tidak mempedulikanku.

"Jadi apa isinya?" tanya lansia itu mencoba mengintip isinya.

Kamu merobek surat itu hingga berkeping-keping. Lalu kamu menyuruhnya untuk menebarkannya di luar jendela kamarmu.

"Hey, apa yang mau kamu lakukan?" tanyanya.

"Bisakah kamu menebarkan surat itu di luar jendela? Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan kalian. Menjauhlah," kamu menjadi geram.

Setelah semuanya, dia tetap tidak peduli dengan kehidupanmu.

"Kamu indigo lho," ucapnya perlahan sehabis menebarkan kertas itu ke luar.

"Aku tidak peduli."

"Kamu pernah melihat gadis berambut coklat sebahu terbang sekitar sungai?" tanyanya lalu kamu pun ingat.

"Ya lalu kenapa? Tidak ada hubungannya denganku sekarang."

"Itu anak dari kakakku."

Mungkin aku harus bisa menemuinya.

Kamu meliriknya dan akhirnya," Siapa namamu?"

"Aku Min Juyoung," ucapnya lalu bangkit berdiri dan memelukmu. "Maukah kamu memaafkan kakakku? Sebagai gantinya, aku akan menjadi sandaranmu."

"Aku... sebenarnya telah memaafkannya sejak lama.. tapi.. perhatiannya terhadap anaknya berbeda sekali denganku.. jauh di dalam hati aku sangat menyayanginya. Termasuk Elizabeth brengsek itu," ucapmu membalas pelukannya.

Sakit itu menjadi alasan bagimu untuk membangun tembok baja di sekelilingmu. Tidak kau gubris siapa pun yang mengetuk tembokmu. Namun 13 Juni 2013 disitulah tembokmu runtuh.

Park Jimin.. maaf.. tapi aku merindukanmu lebih dari apa pun. Baru 2 minggu kita berpisah namun wajahmu masih berbayang di pikiranku.






Crystal || Park Jimin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang