"Berapa hitungannya?" Tanya seorang lagi hari ini. Sudah lewat tengah hari ikan jualannya hanya laku 2 kilo. Itupun hanya ikan Wader yang berhasil terjual. Lainnya masih tertata rapi di atas keranjang tempat ikan. Pikirnya rezeki yang Tuhan berikan cukup untuk hari ini.
Terik matahari telah membakar kulit gelapnya beberapa tahun ini. Bangunan besi tua beratap bocor yang biasa disebut orang sebagai pasar ini adalah ladang emas tempatnya mencari makan. Dulu sekali sebelum beberapa kejadian itu datang, khayalannya tak seciut sekarang. Sekarang untuk bermimpi menjadi orang kayapun tak ada waktu, waktu yang menurutnya semu telah direnggut untuk mencari kerja apapun demi melanjutkan hidup, hanya agar tak mati karena kelaparan. Sebenarnya lucu apabila mati kelaparan di tempat dimana semua orang bisa hidup makmur. Namun garis hidup mengatakan lain untuknya, terjaga di malam hari dan tak istirahat di siang hari adalah wujud nyata mengenai garis hidup.
Cahaya matahari kuning yang menyusup menyinari jualannya. Dalam hati ia berkata saatnya pulang. Akan ada alasan mengapa ia mesti pulang duluan di banding penjual di pasar yang lain, yang menunggu adzan Ashar baru lekas pergi. Kira-kira semua barang dan dagangannya telah di-packing rapi dengan topi rimba yang mirip topi mancing di kepala, celana pendek dan kaos oblong bertuliskan "Negeri ini Bukan Kolam SUSU. Tapi Memang Banyak SUSU Milik Babu." Cepat-cepat ia membawa dagangannya ke rumah tak jauh dari pasar, rumah juragan. Beruntung atau sial sore itu juragannya ada di depan rumah sedang mengobrol ringan dengan beberapa orang yang kelihatannya penting. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, mereka orang kantor ataupun bos-bos dengan jas hitam, berdasi dan sepatu pantofel mengkilap cukup membuat Peksa sadar bahwa pembicaraan yang sedang juragan obrolkan cukup penting. Sadar diri ia menunggu di balik gerbang sampai pembicaraan itu selesai. Setelah dirasa urusan sang juragan telah selesai kini gilirannya. Bermodalkan pasrah dan mencari-cari hoki-nya hari ini dibawanya barang dagangan ke depan juragan.
"Selamat Sore, Bah." Ucapnya basa-basi.
"Eh Kau Peksa, Gimana jualan hari ini?" Menatapnya sambil menghisap cerutu di tangan.
"Saya pikir jualan hari ini cukup untuk membuat juragan kecewa."Jawabnya sambil menatap lantai keramik mewah rumah juragan.
"Berapa kau bisa jual ikanku?"
"Hanya dua kilo juragan"
"Hanya dua kilo?" Nada suaranya naik dan mukanya berubah dengan mimik kaget.
"Iya juragan." Jawab Peksa dengan suara pelan. Hatinya mulai berdoa di samping keringat dingin karena takut mulai keluar dari tubuh kurusnya.
"Sebenarnya bisa jualan tidak Kau ini? Sudah beruntung kuberi pekerjaan jadi penjual ikan, tapi malah kau hilangkan kepercayaanku." Nadanya mulai naik.
"Mohon maaf juragan, ini kesalahan hamba. Semoga besok ada banyak ikan yang bisa hamba jual di pasar, tidak seperti hari ini." Jawabnya dengan masih menundukkan muka.
"Aku tak menyuruhmu mengheningkan cipta, saat bicara tatap mataku. Kau bukan budakku tapi pekerjaku tak sepantasnya kau menunduk di hadapanku."
"Baik juragan." Sambil mengangkat kepala ia tatap sang juragan. Pikirnya baru sadar bahwa juragan tak semengerikan yang ia bayangkan, kumisnya tebal dengan tahi lalat kecil di atasnya. Perawakannya tinggi besar dengan selalu memakai topi koboi khas Amerika Latin, hidungnya besar tetapi mancung, matanya hitam-kecoklatan khas orang Timur dan setelan pakaiannya mirip Polhut (polisi hutan) di Perhutani dengan warna cerah. Badannya mulai membesar diumurnya yang kisaran 50-tahunan.
"Berhubung tamuku yang baru saja pulang memberikan kabar yang baik, nampaknya cukup beruntung kau hari ini, moodku sedang bagus. Sudahlah jika hari ini yang bisa kau jual hanya dua kilo, mungkin rezeki Tuhan hari ini masih segitu. Tapi sebagai gantinya tolong bersihkan taman belakang rumahku sebelum pulang. Setelah selesai pekerjaanmu temui aku dan ambil gajimu untuk hari ini."
"Terima kasih banyak juragan dan segera hamba kerjakan tugas yang diberikan." Jawabnya sambil berlalu ke belakang rumah juragan.
Lewat pintu samping dilihatnya beberapa ornamen-ornamen mahal terpajang di tiap detail tembok rumah ini. Rumah juragan di cat warna krem yang sangat pas dengan beberapa lukisan kuda dan lukisan abstrak yang berukuran besar-besar. Pikirnya juragan punya nilai estetik yang tinggi. Sebelum sampai di taman Peksa harus melewati lorong. Tapi ia lupa dimana juragan meletakkan alat untuknya membersihkan taman. Cepat-cepat ia berbalik ke depan, tapi sebelum sampai ke depan dilihatnya gadis yang sedang merajut sendirian di sebuah ruangan. Itupun ia lihat dari balik pintu yang sedikit terbuka. Daripada menemui juragan lagi dan dapat semprot karena kelupaannya Peksapun memutuskan untuk bertanya kepada gadis tadi.
"Permisi, Assalamualaikum." Ucapnya sambil mengetuk pintu ruangan.
"Walaikumsalam, Iya, sebentar." Jawabnya dari dalam sambil mulai berdiri dan mendekati pintu.
Sampainya di pintu gadis ini cukup kaget. Seorang laiki-laki kurus, berkulit coklat-gelap ini belum pernah ia lihat sebeumnya. Cepat-cepat ia tanya laki-laki tersebut.
"Ada yang bisa Iling bantu?" Tanyanya dengan suara lembut. Mantel sutra milik rajapun nampaknya kalah lembut dengan suara ini.
"Eh eh anu saya disuruh juragan untuk membersihkan taman belakang. Tapi tadi lupa tanya sama juragan dimana tempat sapu." Ucap Peksa sambil matanya tak bergerak dari sosok di depannya. Wajahnya putih bagai susu dengan hidung mancung yang cantk untuk seorang gadis, perawakannya setinggi Peksa dan berhijab, bibirnya berwarna merah muda entah karena lipstik atau memang begitu adanya dan matanya yang begitu mempesona. Matanya coklat bening, begitu jernih dan meneduhkan, sorot matanya bagai keibuan dan itu yang membuat mata Peksa menatap lurus pada gadis tersebut.
"Oalah sapu ya, ada di sebelah pojok setelah lorong. Biasanya alat bersih-bersih di taruh di sana semua." Ucap Iling lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peksa
General FictionPerjalanan Kesamaran Batin, Imajinasi, dan Kenyataan Ayahnya adalah laki-laki yang terlalu tua dan buta. Beberapa waktu selanjutnya hidupnya hanya sebatang kara, berteman penghuni hutan dan kesepian. Alur waktu tak membuatnya sinis, hanya kesamaran...