Terbakar matahari, luntur sebab hujan
Hilang tiupan angin
Janganlah jadi seorang pejalan
Sebab tak ada bisa untuk disembah
Pada jamuan maupun warisan
Namun janganlah tak menjadi pejalan
Sebab makna hidup terhampar di alam
Pada kejadian ada butir makna emas
Pada bahagia ada sebab nyata ia tertawa
Perjalanan malam kala itu
Tak punya waktu
Kawijen
Walau banyak tak paham akan yang didengar dari bacaan syair Ayahnya, Peksa terkagum akan pembacaan yang dilakukan Ayahnya. Seperti mendengar lagu asing yang kita tak paham artinya tapi menyukai lagu itu. Mungkin seperti itulah yang Peksa rasakan. Salah satu cita-cita yang berani ia cita-citakan adalah menjadi sosok seperti Ayahnya. Mungkin ia harap juga bercita-cita menjadi sosok seperti almarhum ibunya, namun sampai ibunya menjadi korban salah tembak polisi yang berpos di perempatan pasar ia belum menemukan satu hal yang membuatnya terkagum selain cerita-cerita dari kakaknya dulu sebelum ia menikah dan pergi tak ada kabar sampai sekarang.
Syair-syair yang Ayahnya baca tidak semua beliau hafal. Namun ia akan tetap bisa menyampaikannya sebab kertas-kertas di atas kotak kayu di kamar beliau adalah bukti setumpuk tulisan tangan mengenai syair-syair yang pernah ia buat selama masa mudanya. Entah dengan alasan apa Ayahnya sekarang tak pernah menulis suatu hal lagi. Sejak pemakaman ibunya waktu itu.
Sebenarnya Peksa berharap Ayahnya membuat syair tentang pemakaman ibunya waktu itu. Sebab hal terakhir yang bisa ia ingat dengan jelas wajah ibunya tersenyum sesaat sebelum liang kubur ibunya ditutup dengan tanah. Jika ada gambar maupun foto ibunya sebenarnya rasa kangen Peksa pada sosok perempuan itu bisa terobati. Tapi bukanlah salah satu khayalannya untuk membayangkan terbingkai foto keluarga mereka maupun foto ibunya di tembok rumah. Karena itu, suatu saat ia ingin dibuatkan syair tentang ibunya yang bisa sedikit mengobati rasa rindu. Walau rindu berat, ia tak ingin bilang biar aku saja. Tapi rindu akan menyenangkan bila bagi-bagi dengan orang lain.
---
Ia menemukan hobi baru beberapa hari ini. Bayangan Iling tetap terngiang lembut di kepala. Ia bagaikan telah mematenkan beberapa syaraf baru di otak Peksa, entah kapan tapi belum lama-lama ini sepertinya. Lewat beberapa hari ini, telah banyak momen antara Peksa dan Iling. Mereka sering bertemu, baik di rumah juragan atau rumah Iling sendiri, di pasar, di kuburan, di bukit Wulang Reh, di trotoar depan penjual mie ongklok, dan terakhir di kamar Iling.
Semua kejadian untuk beberapa momen ini terasa hanya sekejap oleh Peksa. Pernah Peksa pikir dengan momen yang cukup bakal jadi alasan timbulnya rasa, ia pikir Iling akan mau jika ia pinang sebagai pacarnya, sangat jauh bayangan seorang anak yang Bapaknya buta ingin meminang kawin anak juragan yang menjadi idola di kampungnya sendiri. Peksa sangat paham bahwa seekor itik akan sangat susah kawin dengan seekor merak. Jangan-jangan nanti itik akan tak tahu jelas di mana kemaluan merak.
Di rumah juragan suatu siang,
Sekembalinya dari pasar dengan raut muka sumringah, Peksa berlari kecil menuju rumah juragan. Tak sabar dalam hatinya ingin memberikan kabar gembira tentang hasil penjualan ikan hari ini yang ludes dan untung besar. Berkat arab sombong yang mudah dibohongi. Tak ada firasat apapun dari Peksa hari itu, kala itu juga. Namun, sampai di depan rumah juragan bendera putih kecil telah ada di pasang. Ya, orang meninggal dunia. Tapi siapa yang meninggal, juragankah, istrinya, atau hanya seekor hewan peliharaan juragan, namun yang tak mampu ia bayangkan adalah apabila yang mati perempuan perawan idamannya. Sungguh jika itu adalah Iling makan sudah pasti Peksa akan lupa bagaimana cara bernafas.
Langkahnya pelan dengan sedikit merapikan pakaian yang ia kenakan. Walaupun tetap nampak seperti gembel, tapi setidaknya itu pakaian terbaik yang Bapak berikan. Di teras rumah bapak-bapak yang beberapa Peksa kenal telah duduk-duduk rapi sambil meraut muka-kan kesedihan, entahlah memang cetakannya seperti itu atau hanya sekedar raut muka situasi, ataukah raut muka topeng kegembiraan. Entahlah. Peksa tak peduli dengan orang-orang di luar tadi. Ia masih belum tenang, sebenarnya siapa yang meninggal di rumah juragan. Peksa paham betul bahwa jika ia masuk lewat pintu depan akan tidak mungkin seorang anak kucel dan hanya juragan yang mengenalnya memperbolehkan masuk. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya yang agak peyang. Ia masuk lewat jendela kamar juragan, karena memang letak dan kondisinya memungkinkan untuk Peksa masuk lewat sana. Sebenarnya memang belum pernah ia masuk kamar juragan, tapi karena kejadian tempo dimana juragan menyuruh membersihkan taman saat ia mau mengembalikan gunting potong rumput ia melihat pintu terbuka dan di dalamnya ada istri juragan yang cantik dan mirip Galgadot sedang duduk merias diri di depan cermin.
"Beruntung" pikir Peksa bahwa setelah beberapa saat ia mengintip di kamar juragan tidak ada suara apapun dan siapapun. Maka segera dengan tanpa kesusahan ia masuk ke kamar juragan. Belum sampai nafasnya habis, tiba-tiba pintu terbuka. Sangat beruntung bagi Peksa dengan kebiasaannya bersembunyi dan ngumpet tempo dikejar-kejar polisi yang memburunya dulu ia bisa bersembunyi di balik korden. Korden juragan yang tinggi, mewah dan panjang sangat mudah menutupi tubuhnya yang hanya tak lebih besar dari Owa Jawa. Beberapa detik berlalu keringat dingin masih terus keluar, tapi memang pengalaman berbicara banyak. Peksa dengan segera bisa mengendalikan dirinya dan sekarang mata sebesar kacang itu sudah bisa mengintip siapa yang datang. Dan benar sesuai bayangannya bahwa yang masuk adalah perempuan, ya istri juragan.
Tidak lama setelah istri juragan masuk dengan muka sembab sebab habis nangis semalaman. Ia duduk sebentar dan berdiri lagi. Mulai istri juragan berdiri mata Peksa menjadi lebih melotot sebab di depan matanya berdiri sosok perempuan yang ia pikir mirip Gal Gadot mulai melepas segala pernak-pernik yang menempel di tubuhnya. Mulai dari pakaian sampai celana dalam. Sebagaimana Peksa adalah laki-laki yang normal, melihat sosok cantik berdiri telanjang di depannya ia mulai merasa ada yang aneh di bagian celana. Terasa sesak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peksa
General FictionPerjalanan Kesamaran Batin, Imajinasi, dan Kenyataan Ayahnya adalah laki-laki yang terlalu tua dan buta. Beberapa waktu selanjutnya hidupnya hanya sebatang kara, berteman penghuni hutan dan kesepian. Alur waktu tak membuatnya sinis, hanya kesamaran...