Chapter II : Halaman Kedua dari Sebuah Buku Diari

16 1 0
                                    


Malam hari saat kucing mulai berkeliaran, suara burung telah surut, surya juga pamit pulang. Peksa terbangun, dengan tubuh lengkap dimana semua orang bisa melihat dan merasakan kehadirannya. Kejadian yang menimpanya kemarin dirasanya adalah sebuah mimpi yang memberikan isyarat. Ia sadar betul bahwa dirinya masih hidup dengan sebuah gigitan nyamuk ditangan yang membangunkannya.

Malam itu tak pernah ada rencana untuk melakukan suatu hal, seperti malam-malam biasanya. Beberapa langkah menemaninya untuk sekedar mencari angin luar, namun beberapa langkah kemudian ia berhenti, memandang beberapa sisi hutan yang ada di pelataran rumah kecilnya. Malam itu memang bintang tak terlihat banyak, bulan juga masih malu untuk menampakan diri seutuhnya. Peksa duduk di atas batu di tengah sungai, entah hal apa yang terpikirkan, tiba-tiba perempuan pujaannya kembali datang. Paras manis dan tak biasa membuatnya meleleh pada sosok yang ia idamkan. Beberapa waktu setelah Peksa mengembalikan hasil dagangan ke rumah juragan ia menemukan sebuah buku binder tergeletak di samping tempat sampah rumah Juragan. Karena terlihat masih bagus, secara sengaja Peksa mengambil binder itu. Lalu ia masukkan ke dalam baju kotornya, dengan harapan setelah ia tiba di rumah dibacanya satu persatu isi buku tersebut.

Malam ini mungkin waktu dan suasana yang tepat untuk membuka halaman-halaman dalam buku itu. Sekilas dalam langkah pulangnya ia membuka-buka isi binder itu, dan di halaman pertama jelas tertulis sebuah nama Iling Iwihandani. Nama yang menjadi hadiah yang menenangkan pikiran Peksa disaat ia jatuh lelah. Halaman demi halaman ia buka dengan membaca tiap detail coretan tinta di atasnya. Baru dua halaman setelah halaman pertama terisi nama pemilik buku, Petra mulai membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Sampai-sampai saat ia memang belum paham betul dengan isi dari tiap kalimat, dibacanya ulang empat sampai lima kali. Halaman pertama itu berjudul.

Siapakah Aku?

Siapakah lagi yang mau mendengar ceritaku malam ini. Aku telah banyak bercerita pada banyak daun dan angin. Dan cerita ini adalah cerita yang kuceritakan untuk keseratus kalinya pada malam-malam yang dingin. Namun tetap saja luka sayat-sayatan itu tetap mencabik dada. Apakah ini sebuah kesalahan Tuhan? Jika memang aku tak cukup kendali untuk melupakan kenangan? Pikirku Kau takkan marah tentang hal remeh temeh ini.

Ceritaku dimulai pada malam, dimana semua hal teristirahatkan kecuali untuk nocturnal. Banyak yang mulai rapi dengan baju tidur, topi koboi juga tak dipakai kembali, dan bersiap untuk naik ke ranjang empuk nan mewah. Aku, masih di atas meja belajar, jam weker di depanku kusetel kembali pukul 05.00 pagi, di sana tak ada lagi cahaya untukku mampu melihat taman di depan rumah. Ikan di kolam juga mungkin terlelap di balik batu-batu kecil, ornamen kolam yang ditata Ayah. Sedang aku, masih dengan menumpuk origami-origami ini untuk kulanjutkan besok, dan beberapa binatang telah kubuat dengan mata mereka yang nampak walaupun hanya dengan dua bulatan hitam.

Jam di dinding tak terasa sudah pukul 01.30 malam. Badankupun telah nyaman di atas kasur dengan selimut pemberian Abi yang masih tercium baunya. Yang tiap malam kutemui dalam mimpi, atau sekedar berkeluh kisah di surga. Dan tak lama suara pintu itu terbuka, malampunkupun menjadi kesedihan akannya.

Sosok itu diam dan memasuki kamar. Tanpa suara, begitupun langkah kakinya tak memiliki bunyi yang merambat sampai di telingaku. Aku hanya melihat bayangan cahaya lampu yang bergerak sebab pintu kamar yang terbuka. Siapakah dia?

Ia masuk untuk menutup jendela kamarku yang masih terbuka. Sebab melamunku pada malam hari, terkadang lupa untuk menutupnya kembali. Selang beberapa waktu kurasakan ia mendekat dan kebiasaanku bahwa aku selalu takut terlebih dahulu akan pikiranku, sebelum aku melihat kenyataannya.

Lampu kamarku yang redup karena memang hanya lampu tidur membuat bayangan di tembok dari sesosok ini. Keadaanku yang menutup seluruh muka dengan selimut mulai sedikit kugeser tanpa sepengatahuannya kurasa. Tapi aneh, ia tak mendekatiku, menyentuh keningku atau memperbaiki selimut yang kupakai.

Aku menghitung angka satu sampai dengan enam puluh lima. Dalam hati kuhitung betul urutan angka itu, karena aku takut lupa bahwa aku sudah diangka ke berapa. Sampai angka enam puluh lima yang kuhitung di dalam batin, ia tak mendekat, menyentuh atau melakukan apa apa. Ia hanya berdiri, entah memandangku atau tidak, menghadapku atau tidak.

Selimutku sudah tak lagi menutup wajahku, dengan sedikit gaya gaya akting orang yang terlelap kuturunkan selimut dari wajah. Dengan sedikit membuka mata, kutahu itu Ayah yang berdiri lama di sana, tangannya menengadah mirip orang membaca doa. Bibirnya kulihat layaknya orang membaca yang dieja dan kulihat ia memejamkan mata.

Kutahu itu Ayah, bukan Abiku yang datang dari surga. Walaupun aku tak tahu apa yang ia lakukan, apa tujuannya. Tapi aku juga tahu, teramat takut aku menanyakan apa yang dia lakukan saat itu, karena memang aku takut pada Ayah, sebab cerita hutang piutang dulu dan alasan aku tinggal padanya. Aku tak berani melakukan apa apa di rumah yang mewah ini. Suatu saat nanti mungkin akan kuceritakan kisahnya.

Ayah masih berdiri dan aku terbangun di pagi hari. Ternyata itu mimpi di sela malam. Aku terbangun dengan keringat yang mengucur deras di pelipis dan yang lainnya telah terserap oleh baju tidur yang kukenakan.

"Kraaakkkkkkk.... Brruuuukkkk" Sebuah dahan kering jatuh dari salah satu pohon yang tinggi. Kekhusyukan Peksa memaknai cerita Iling buyar seketika. Kondisi malam yang berdamai dengannya itu menjadi terganggu karena jatuhnya dahan dan membuatnya kaget. Dilihatnya bulan juga masih terang saat itu, air di sungai juga kembali gemericik seperti tadi. Tapi Peksa menutup cerita di halaman kedua diari sosok yang ia idamkan. Cerita Iling berhenti di sana dengan diakhiri gambar emoticon sedih di pojok kanan bawah. Buku itu dibawanya melompat lompati batu menuju ke gubuk di tengah hutan. Ia genggam erat barang berharganya saat ini. Tapi dengan belajar dari pengalaman, Peksa tak memaknai sesuatu hal dengan keistimewaan lebih, ia lebih menyukai ala kadarnya, menyenangi secukupnya tanpa berlebihan. Sebab ia sadar betul bahwa diumurnya sekarang ia belum mampu untuk merasakan kehilangan. Sebab setelah kehilangan ia hanya bisa berkawan dengan kenangan tanpa bisa mengukir kenangan kenangan kembali. Sebab kenangan seperti stok beras, saat selalu diingat dan digunakan, maka secepat itu pula kenangan menjadi habis dan tereduksi, bukan tergantikan dengan yang lain, melainkan memang stoknya yang kemudian habis menjadi sebuah lupa.


PeksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang