Belum selesai Peksa membayangkan kematian juragan, tiba-tiba seseorang menepuknya dari belakang. Betapa terkejutnya Peksa bahwa orang tersebut adalah juragannya sendiri. Kepala Peksa hampir jatuh dan ia tak habis pikir, beberapa kali ia bolak-balik melihat ke sisi jenazah juragan dan melihat orang yang tadi menepuknya dari belakang. Benar-benar mirip dan tanpa perbedaan sama sekali.
"Sudah tak usah heran Kau Kampang (panggilan akrab juragan pada Peksa), aku memang benar sudah mati, dan tadi aku juga heran mengapa kau terlihat berbeda dengan orang kebanyakan di sini. Makanya aku mendekatimu dan mencoba menyapamu." Ia menjelaskan sebelum Peksa membuka mulut untuk bertanya apapun.
"Sekarang ikutlah denganku, jangan bertanya apapun di depan mayatku sendiri. Aku malu melihatku telanjang bulat. Tak kuizinkan kau untuk membuka-buka barang pribadiku. Bergegaslah, tak sanggup lagi kulihat istri dan anakku menangis dengan kematianku." Sambung Juragan tanpa memberi sela untuk Peksa berbicara.
"Siap Juragan." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Peksa.
Melewati kerumunan orang, tak perlu lagi mereka untuk berjalan menghindari mereka, karena tubuh kerumunan itu bisa tertembus mudah layaknya angin dan bayangan. Sampailah mereka berdua di teras rumah yang di depannya tergeletak banyak karangan bunga. Seingat Peksa bahwa saat ia tadi datang dan masuk ke kamar juragan belum sebanyak ini karangan bunga, atau belum ada sama sekali seingatnya. Memang terkadang mungkin banyak orang memandang juragannya adalah orang baik, atau hanya mereka pernah mendapat keuntungan dari bisnis yang mereka lakukan dengan juragan. Sehingga karangan bunga ini adalah wujud rasa terima kasih, atau juga beberapa dari mereka mengirimkan karangan bunga ini sebagai tanda syukur, setidaknya saingan kompetisi dalam bisnis telah berkurang satu orang.
"Bagaimana Juragan mati kalau boleh tahu Gan?" Tanya Peksa memecah keheningan di antara mereka berdua.
"Aku tak ingat pasti bagaimana aku mati, setahuku aku bangun tepat pukul 03.00 pagi seperti biasanya, dan mengecek ikan-ikanku yang paginya akan kujual. Setelah itu aku minta dibuatkan kopi hitam dan menunggu pagi dengan duduk di sini bersama kopi dan cerutuku." Jelas Juragan.
"Apakah kematian hanya seperti itu." Peksa yang penasaran, mulai melontarkan pertanyaannya kembali.
"Terkait benar matiku, nampaknya Sang Kuasa tak mengizinkan memori otakku menyimpan alasan kematianku dan bagaimana proses kematian itu terjadi, kupikir aku akan trauma jika mengingatnya." Terang Juragan pada Peksa.
"Kumembayangkan, berapa harga yang perlu diganti untuk sebuah kematianmu?" Tanya Peksa.
"Kupikir mahal, dan Sang Kuasa mungkin boleh denganku membayar separo terlebih dahulu." Jawab Juragan.
"Lalu sekarang, bagaimana hidup setelah kematian?" Peksa masih bingung akan hal ini.
"Kupikir seperti minum kopi di siang hari. Pertanyaan ini bukankah kau juga bisa menjawabnya Kampang?" Tanya balik Juragan.
"Aku tidak mati nampaknya juragan, Sang Kuasa belum mengirimkan diriku seutuhnya untuk ke sana. Jika aku boleh bilang seperti ini rasanya adalah minum secangkir kopi yang hanya tersisa ampas kopinya, kupikir kau lebih paham mengenai itu." Terang Peksa.
"Lalu bagaimana perjalananmu sampai ke kehidupan yan separo-separo ini?" Juragan mulai heran.
"Belum juga aku memikirkan tentang hal itu, banyak kejadian mendahuluinya." Tanpa sama sekali menatap wajah Juragan.
" Sepertinya kita memang belum cukup ahli membicarakan kematian dan separuh kehidupan ini Juragan." Masih dengan tanpa memandang Juragan.
"Mungkin memang betul, di kematian kau nampak pintar ternyata Kampang? Tapi di kematian aku juga berpikir bukan lagi Juragan yang pantas menyuruhmu untuk melakukan apapun." Sambung Juragan dengan tatapan serius pada Peksa.
"Mmmmmmm" Ketawa cengengesan dan mulai bertingkah seperti anak kecil biasa.
"Tidak Juragan, mungkin tadi hanya keberuntungan, kau tahu itu kan. Dan kupikir kau masih Juraganku, masih guruku, orang tuaku, dan investorku, sepertinya. Sebab banyak hal yang masih menjadi kenangan, Gan." Jelas Peksa panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peksa
General FictionPerjalanan Kesamaran Batin, Imajinasi, dan Kenyataan Ayahnya adalah laki-laki yang terlalu tua dan buta. Beberapa waktu selanjutnya hidupnya hanya sebatang kara, berteman penghuni hutan dan kesepian. Alur waktu tak membuatnya sinis, hanya kesamaran...