-1-

18 1 0
                                    

"Oh iya mbak terima kasih banyak. Saya langsung ke sana saja." Dalam hati mengapa waktu yang pikirnya semu terasa cepat untuk hal yang menyenangkan. Bagian-bagian tubuhnya terasa diaktifkan dan merasa bahwa ia terbang karena pesona Iling yang baru pertama kali ini ia temui di rumah juragan setelah beberapa hari kerja. Matanya begitu mengikat setiap lawan bicara, lewat matanya terlihat bahwa sosok gadis ini adalah berbeda dan sangat spesial dibanding gadis-gadis yang pernah Iling temui, bahkan kakaknya sendiri. Doanya dalam hati tak muluk-muluk hanya sebatas diberi kesempatan untuk bisa bertemu gadis ini lagi melalui apapun, baik itu lewat mimpi maupun kejadian tak terduga seperti barusan.

Dilihat hasil kerjanya terlihat sudah cukup menurut Peksa. Rumput di taman yang mungkin berukuran 4x4 ini sudah rapi dipotong dan sudah bersih. Kolam ikan di tengah juga sudah bersih dari lumut beserta panjuran anak kecil yang sedang kencing juga sudah mengalir dengan baik. Tembok taman juga sudah Peksa bersihkan tanpa ada kerak. Cukup dan sudah bersih menurut Peksa. Lekas Peksa ke depan untuk menemui juragan untuk bisa segera pamit pulang. Karena ia tak ingin sampai rumah sebelum senja menghilang, jika ia sampai rumah malam akan ada masalah dan itu pasti.

Beruntung setelah menemui juragan di depan dan mengantar juragan melihat hasil kerjanya Peksa diizinkan untuk pulang dan diberi gajinya hari ini. Setelah pamit pada juragan segera ia berlari ke rumah yang jaraknya masih sekitar 5 kilometer. Berlari menelusuri komplek juragan dan menerobos pasar untuk memotong jalan adalah rute Peksa sehari-hari. Namun, kebahagiaan kecil muncul saat ia pulang sore hari seperti ini.

Senja di sini tak sama dengan di tempat lain. Karena masih terdapat hamparan sawah yang luas. Melewati jalan-jalan kampung yang belum terlalu ramai kendaraan Peksa bisa menikmati sore dengan lukisan-lukisan megah Tuhan di langit. Begitu bermacam bentuk lukisan dan tak pernah membuatnya bosan. Belum saat ia berlari di samping sungai, siluet dirinya terbentuk indah di permukaan sungai. Saat melihat bayang dirinya sendiri rasa penat hari ini terasa hilang untuk seketika. Capek karena laripun akan hilang dari pikirannya setelah ia mulai masuk ke hutan. Bunyi seresah karena pijakan kaki, beberapa angin di tajuk yang membuat luruh daun-daun tua serta bunyi burung yang juga akan pulang membersamainya setelah mencari makan sehari-hari, beberapa herpetofauna yang menyapanya sebab beberapa binatang ini nocturnal menyambutnya datang berlari setelah melewati hamparan sawah yang cukup luas dan menguning.

Rumah yang ia anggap istana tak lagi jauh pikirnya saat ia mulai masuk ke hutan. Sinar matahari sore masih menembus dari balik tajuk pohon. Karena hutan ini berstrata kanopi B dengan tajuk yang bertumpuk dan masih bersambungan beberapa tempat seresah terlihat tersinar karena tembusan sinar matahari. Beberapa langkah kemudian terlihat rumah dari kayu tepat di samping sungai yang jernih. Hati Peksa mulai senang terlihat dari senyum simpul di mulutnya. Ia berhenti sebentar karena terlalu letih dan bersandar pada pohon dengan satu tangan dan tangan satunya mengelap dengan siku keringat yang bercucuran di wajahnya.

Beruntung kata Peksa pada orang-orang yang mengatakan mengapa memiliki rumah sendiri di dalam hutan, yang walaupun akan terasa sepi karena tak memiliki tetangga. Tapi karena hutan ia memiliki banyak alasan untuk bahagia dan itu yang kadang tak ditemukan beberapa orang-orang yang tinggal di kota. Sebab di hutan ia tinggal tak nomaden, rumah sederhana yang ia buat bersama keluarganya semua hutan yang menyediakan. Sebab hutan pula ia paham mana pohon Jati, Mahoni, Pinus, Ulin, Eboni. Ia paham bagaimana memanfaatkan dan mengolah minyak kayu putih, beberapa resin dari pohon tertentu dan bagaimana obat yang bisa ia ciptakan sendiri dari akar, kulit, batang, daun bahkan getah pohon tertentu.

Di rumah yang menurut Peksa istananya ia tinggal bersama orang tua dan kakak perempuannya dahulu. Sekarang ia hanya tinggal bersama ayahnya, ibunya telah meninggal terkena tembakan nyasar dari seorang polisi beberapa tahun yang lalu dan kakaknya telah ikut suaminya ke kota dan beberapa tahun ini belum ada kabar yang jelas bagaimana keadaannya sekarang.

Hela nafas panjang setelah mendengar suara dari dalam rumah selepas ketukan pintu dan panggilan untuk ayahnya. Beruntung pikirnya ia masih bisa pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam. Ia tak ingin kejadian seminggu kemarin terulang. Dimana ia pulang agak terlambat dan hari telah malam saat Peksa sampai di rumah. Sampai di rumah tak terlihat batang hidung ayahnya. Peksa benar-benar paham bahwa ayahnya mengidap penyakit yang ia tak kenal nama umumnya. Intinya saat matahari benar-benar hilang setelah senja mata ayahnya akan rabun, dan ia sadar betul bahwa mereka tinggal di hutan, penerangan hanya akan mereka dapat dari sinar bulan, kunang-kunang dan lampu minyak. Untuk orang dengan mata normalpun berada di hutan pada malam hari jika memang bukan bulan purnama dan hari cerah akn kesulitan berjalan dan mengetahui keberadaan sesuatu tanpa penerangan. Apalagi ayahnya yang mengidap mata rabun saat malam hari.

Butuh banyak jam untuk Peksa mencari ayahnya. Dari tiap jejak kaki yang ia temui di tanah ditelusuri sampai benar-benar tidak memungkinkan. Kadang ia berpikir apakah ayahnya ke sungai, karena suara gemericik air sungai yang paling jelas terdengar saat malam hari selain suara jangkrik, serangga, dan hewan nocturnal baik dari mamalia maupun vertebrata lain. Dan betul bahwa ayahnya ada di aliran sungai sedang kebingungan mencari jalan di antara batu-batu sungai. Entah dengan alasan apa ayahnya pergi ke sungai, tapi nyatanya ia berada di sana saat Peksa dengan bingung mencari keberadaanya.

Ayahnya berperawakan sedang tak terlalu tinggi dan kecil. Berkumis tipis, berjanggut dan mulai beruban. Rambutnya pendek, kulitnya kecoklatan, bibirnya tebal dan terkadang terlihat pucat. Beliau tak kurus tapi juga tak gemuk, matanya sayu dan tersimpan sejuta perjuangan hidup di mata tua itu.

Malam menjadi waktu belajar untuk Peksa. Baik itu belajar dari alam maupun belajar dari Ayahnya. Terkadang saat malam Ayahnya membacakan syair-syair semasa muda yang pernah dibuatnya. Syair tentang perjalanan, makna hidup, maupun asmara saat kedua orang tuanya bertemu. Seperti malam ini tiba-tiba terdengar suara orang membacakan syair di tengah gelap malam. Diiringi suara satwa Ayahnya dengan sangar melantunkan tiap kata dalam bait dengan penuh penghayatan. Rasanya tiap kata yang keluar adalah cerita hidup yang ingin ia bagikan.

Surat selepas Mati

Hidup seorang ronin terbayang di lukisan

Hidup seorang nabi terbawa akal pengikut

Lalu hidup seorang pejalan

Tercecer remah di jalan yang dilalui

PeksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang