Four

7.9K 822 16
                                    

Sungguh, Dafi benar-benar terkejut ketika ia membuka mata, sosok Rasya berada di sebelahnya. Langsung saja, Dafi bangkit. Ia mengusap dadanya perlahan dan menengok ke arah jam dinding.

Pukul tiga pagi.

"Kak, bangun." Dafi menggoyangkan tubuh Rasya perlahan. Sesekali, ia menepuk pipi kakaknya tersebut. "Ayo, bangun. Pindah kamar."

Rasya hanya menggeliat pelan. Matanya sedikit terbuka, dengan gumaman tidak jelas yang keluar dari bibirnya. Tapi, setelah itu kedua kelopak itu kembali tertutup. Rasya mencari posisi nyaman, sebelum akhirnya kembali tenggelam dalam mimpi indahnya.

Dafi lantas menghela napas panjang. Ia bangkit dari tempat tidur dan merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Kakinya pegal karena sedari tadi menggantung di sisi tempat tidur. Pada akhirnya, Dafi biarkan saja Rasya tidur di atas tempat tidurnya. Sementara dirinya sendiri berjalan ke luar kamar, hendak mengambil minum, berhubung kerongkongannya terasa sangat kering.

Suasana di luar ternyata cukup gelap. Lampu di ruang keluarga dimatikan. Pun, lampu yang berada di ruang tamu. Sehingga saat ini, satu-satunya sumber cahaya yang Dafi miliki berasal dari kamarnya.

Perlahan, Dafi berjalan menuruni tangga. Agak meraba-raba sekitar, Dafi berpegangan pada hand rail. Meski sedikit takut, langkahnya tetap tegas menuju dapur. Dibukanya lemari kaca tempat Kiana biasa menyimpan peralatan makan. Dengan perlahan, seolah takut menghasilkan suara, Dafi mengambil sebuah gelas kaca.

"Adek, ya?"

Mendengar suara tersebut, Dafi hampir saja melempar gelasnya. Kepalanya tertoleh, hendak melihat siapa yang berbicara barusan. Dalam hati, Dafi berharap semoga bukan hal-hal aneh yang didapatinya.

Samar-samar, dapat Dafi tangkap sesosok wanita yang sangat mirip dengan Kiana sedang berdiri di dekat kulkas. Tak lama, wanita tersebut menekan saklar lampu. Suasana dapur langsung terang benderang. Benar saja, sosok tersebut adalah bundanya. Dafi langsung mengembuskan napas lega.

"Benar Adek ternyata." Kiana tersenyum. Ia berjalan menuju meja makan dan duduk di sana.

"Aku terkesan, Bunda bisa ngebedain aku dan Kak Rasya." Dafi balas tersenyum. Ia duduk di bangku, tepat di seberang Kiana. Tangannya meraih kendi yang berada tidak jauh dari posisinya.

"Tentu aja. Karena Bunda adalah bunda kamu. Masa nggak bisa ngebedain anak sendiri?" Kiana terkekeh geli. Kedua tangannya dilipat di atas meja dengan mata yang sedari tadi memperhatikan Dafi. "Adek kebangun? Atau belum tidur dari tadi?"

Dafi bergumam pelan. Agak tidak jelas karena ia sedang meneguk airnya. Kepalanya mengangguk perlahan. Setelah airnya tandas, barulah Dafi berkata, "nggak sengaja kebangun. Terus haus banget. Bunda sendiri? Mau salat tahajud?"

Kiana mengangguk pelan. Tanpa suara, dengan netra yang tetap memperhatikan detail wajah Dafi. Kemudian, Kiana membuang pandangannya, membuat Dafi yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Kiana, menyernyit heran.

"Bunda kenapa?" tanya Dafi penasaran.

"Ah, Bunda cuma kepikiran sikap kamu tadi," jawab Kiana, yang langsung saja membuat Dafi menegakkan tubuhnya. "Kamu tadi nggak sopan banget loh, di depan Ayah. Gimana pun juga, Dek, ingat 'kan kalau Ayah pernah sayang sama kamu?"

Dafi tidak semudah itu percaya pada ucapan Kiana. Sayang? Benar-benar sayang atau Azil hanya sedang bermain peran di hadapannya? Bertingkah seperti seorang ayah yang baik, lalu tiba-tiba saja memberikan serangan telak pada Dafi, yang mampu membuat kepercayaannya pada sosok seorang ayah memudar.

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang