Fifteen

6.2K 675 39
                                    

Alsha selalu menganggap takdir tidak pernah berpihak padanya. Kadang kala, hal itu membuat dirinya berpikir bahwa tak seharusnya ia dilahirkan. Terlalu banyak nasib buruk yang menimpanya, mulai dari sang ayah yang meninggalkan Alsha dan mamanya bahkan di saat dirinya masih berusia tujuh tahun, hingga kini ketika mamanya didiagnosis penyakit berbahaya dan harus menjalani pengobatan di negeri tetangga.

Menyebalkan. Kadang kala, Alsha benar-benar berpikir bahwa Tuhan tidak pernah peduli padanya.

Setelah menghabiskan sarapan yang bahkan tidak dinikmatinya itu, Alsha bergegas bangkit. Dipakainya tas ransel berwarna biru langit yang sedari tadi tergeletak di samping kursi.

"Alsha udah mau berangkat?" Suara Arsya yang baru kembali dari mengejar Dafi dan kakaknya, Rasya, terdengar memasuki liang pendengaran Alsha. Ia merapikan seragamnya sesaat.

"Iya," jawabnya singkat. Ia menghampiri Arsya, dengan tatapan yang enggan menatap pria itu sedikit pun.

"Oh, mau diantar?" Arsya kembali bertanya.

Alsha lantas menggeleng cepat. Ia tidak mau lama-lama berusuran dengan anggota keluarga ini. "Saya bisa sendiri," cetus Alsha acuh tak acuh. Ia menunduk. "Saya permisi."

Tanpa menoleh lagi ke belakang, Alsha langsung berlari ke luar rumah. Dipakainya sepatu yang terletak di rak sepatu. Tanpa sadar, dirinya berdecih pelan.

Apa-apaan barusan? Perilaku Arsya seolah memaksa Alsha untuk berpikir bahwa keluarga ini adalah keluarga yang baik. Benar-benar memuakkan.

Tanpa peduli apapun lagi, Alsha segera berjalan menuju jalan utama. Sudah pukul enam pagi, dan Alsha tidak ingin terlambat hari ini.

•••

"Udah baikan?" Rasya bertanya tepat setelah Dafi meneguk air mineralnya. Dirinya yang duduk tepat di sebelah Dafi, langsung mengusap lengannya perlahan. "Mau makan juga nggak? Lo tadi belum sarapan 'kan?"

Setelah melakukan seluruh pemeriksaan, Dafi dan Rasya langsung bergegas menuju kantin. Seperti biasa, dokter berkata bahwa kondisi Dafi stabil, dan mereka hanya harus terus mempertahankan kondisinya sampai ada keajaiban yang menghampirinya. Selalu seperti itu, hingga Dafi kadang berpikir, kapan kira-kira kalimat yang menyatakan bahwa kondisinya membaik akan terdengar?

Dengan wajahnya yang tampak lebih baik dari sebelumnya, Dafi mengangguk pelan. Ia menutup kembali botol air mineral yang ada di genggamannya, lalu membaringkan kepala di atas meja. Dafi menghela napas panjang.

"Hari ini seharusnya gue presentasi," gumam Dafi perlahan. 

"Ya, gue tahu," balas Rasya. Ia menepuk punggung Dafi beberapa kali. "Tapi yang terpenting sekarang itu kesehatan lo, bukan yang lainnya."

Dafi bergumam tidak jelas. Kedua netra madunya terpejam sejenak. Ini memang bukan pertama kalinya Dafi tidak bisa mengikuti pembelajaran. Harus pergi ke rumah sakit dan meninggalkan teman-temannya mempresentasikan tugas sendiri, sudah menjadi rutinitasnya.

Hal itu lah yang membuat Dafi ingin berhenti berkuliah saja. Bahkan dulu, teman SMA-nya pernah berkata, bahwa keberadaan Dafi hanya menyusahkan saja. Sering tidak masuk sekolah, sulit dihubungi, hingga tidak mengerjakan tugas kelompok.

"Lo ingat nggak sama keinginan lo dulu?" Rasya senyam-senyum sendiri, membuat Dafi bergidik. "Adek mau jadi kayak Bunda suatu hari nanti. Begitu kira-kira kalimatnya."

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang