Twenty Two

5.4K 617 29
                                    

Dafi dapat kembali terlelap, tapi tidak dengan Rasya. Sedari tadi, Rasya duduk di bangku, dengan segelas kopi yang baru saja dibelinya. Pandangannya tak lepas dari wajah Dafi yang tenang, meski kening cowok itu tampak berkerut.

Ada rasa takut yang Rasya rasakan semenjak terakhir kali Dafi mengeluh sesak. Makanya itu, Rasya jadi terjaga. Ia menghela napas panjang, lelah.

"Kak, nggak tidur?" Suara Dafi tiba-tiba saja terdengar di liang pendengaran Rasya. Padahal, cowok itu baru saja terpejam sekitar lima belas menit.

Sontak, Rasya menegakkan kembali tubuhnya. Pandangannya bertubrukan dengan kedua mata Dafi yang tampak sayu. "Iya, sebentar lagi gue tidur," jawab Rasya. Diusapnya lengan Dafi perlahan. "Tidur lagi, gih."

Dafi menggeleng. Daun telinganya terasa gatal karena nasal kanul yang terpasang di hidung, melewati pipi dan belakang daun telinganya. "Gue nggak bisa tidur," ucap Dafi lirih, "Kalau gue tidur terus nggak bangun, gimana?"

Rasya tersenyum miring. "Ngaco," ucapnya, "Masih sesak?"

"Masih. Mungkin saturasi oksigen gue cuma 95 persen," balas Dafi yang langsung diikuti oleh tawanya sendiri. Ditatapnya Rasya lekat-lekat. "Masih mikirin yang tadi?"

"Enggak. Kayaknya, pikiran gue sekarang lebih terfokus ke lo." Rasya bangkit dari kursi, lalu meregangkan tubuhnya. "Gue mau beli camilan. Kantin buka nggak, ya?"

Dafi tidak membalas ucapan Rasya. Ia hanya diam, menatap sang kakak yang sedang mengenakan jaket dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Tidak lupa juga, ponsel yang berada di atas nakas, Rasya ambil.

"Gue tinggal dulu, ya. Lo tidur, jangan tungguin gue. Jangan sampai kenapa-napa juga. Gue nggak mau dengar kabar yang nggak ngenakin."

Dafi tersenyum tipis dan mengangguk. Senyum lembut dan menenangkan. Tapi, hal itu justru membuat Rasya merasa sedih.

Kenapa pula sang adik masih bisa tersenyum meski dengan penyakit yang menyertai jalan kehidupannya?

"Udah, sana."

Rasya mengerjap beberapa kali. "Iya."

•••

"Iya, Bun. Tadi pas aku cek, saturasi oksigennya cuma 94 persen. Terus, aku kasih oksigen tiga liter permenit pakai nasal kanul."

Rasya duduk di bangku kantin rumah sakit yang buka 24 jam. Di atas meja, sekaleng kopi dan sekotak nasi dengan chicken katsu tergeletak begitu saja. Rasya masih asyik dengan ponselnya.

"Katanya sih, udah agak mendingan. Pas aku cek lagi, saturasinya udah 98 persen. Lebih bagus 'kan, Bun?"

"Iya, lebih bagus. Terus, sekarang gimana? Adek udah tidur 'kan? Kamu lagi ngapain? Kok, kayaknya agak rame, ya?"

"Ramenya sama penunggu rumah sakit, Bun." Rasya terkekeh geli. Di otaknya terbayang wajah Kiana yang mendadak menegang. Wajar, wanita itu memang takut dengan hal-hal mistis.

"Maksud kamu, keluarga pasien 'kan?"

Rasya tertawa. Tebakan Kiana benar. Keluarga pasien memang terkadang pergi ke kantin. Maklum, perut juga butuh diisi. Tapi, maksud yang sebenarnya ingin Rasya ucapkan, agak sedikit berbeda.

"Iya, keluarga pasien, Bun," ucap Rasya pada akhirnya. Ia mengambil sendok, lalu mulai menyuapkan sesendok chicken katsu. Rasya menganggukkan kepalanya perlahan. Untung, rasanya enak, meski agak mahal.

"Aku lagi makan di kantin, Bun. Lapar banget."

"Jam dua belas malam?!" Sepertinya, Kiana berteriak saat bertanya hal tersebut. Karena setelahnya, gendang telinga Rasya terasa sakit. Lantas, ia menjauhkan ponsel dari indra pendengarannya, lalu mengusap daun telinganya perlahan.

"Mau gimana, Bun? Aku dari tadi 'kan jagain Dafi," balas Rasya tanpa rasa bersalah. Andai kondisi Dafi baik, mungkin Rasya akan meninggalkannya sebentar. Tapi, tampaknya kembarannya itu tidak sedang baik-baik saja.

"Yaudah. Tapi, jangan keterusan, ya, Kak. Makan malam itu nggak baik buat tubuh kamu. Karena sebenarnya, makan tengah malam itu justru merusak kesehatan. Bisa ada risiko diabetes, bahkan meningkatkan risiko serangan jantung. Hayo. Gimana, tuh?"

Rasya bergidik ngeri. Ucapan Kiana memang benar. Saking benarnya, Rasya seperti mendapat kuliah (tengah) malam.

"Iya, Bun. Nggak lagi-lagi, deh. Aku lapar soalnya." Rasya nyengir, meski sang bunda tidak dapat melihatnya. "Udah, ya, Bun. Sekian laporan dari aku. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Jangan lupa istirahat, ya, Sayang."

Panggilan diputuskan. Kini, Rasya bisa tenang menyantap makanannya. Tapi, tiba-tiba saja, bel terdengar. Bel pertama dan kedua, Rasya masih tenang. Bel ketiga, tubuh Rasya menegang.

"Code blue, code blue. Ruang Kardiologi, kamar satu, bed satu."

Rasya membeku di tempatnya. Ia menoleh, menatap Gedung Mawar, tempat di mana Ruang Kardiologi berada.

Sebentar.

Sebentar.

Sebentar.

Ruang Kardiologi, kamar satu, bed satu. Bukannya itu adalah tempat Dafi?

•rendirse•

A/n

Apaan, sih, anjir?! Wkwkwk

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang