Nine

6.8K 726 27
                                    

Ada beberapa hal yang selalu Dafi syukuri. Pertama, Dafi bersyukur dirinya dilahirkan di keluarga yang---setidaknya---berkecukupan dan sangat mendukungnya. Meski keluarganya pernah hancur beberapa tahun yang lalu, tapi kini semuanya sudah kembali seperti semula. Bahkan, lebih baik lagi.

Kedua, Dafi bersyukur karena dirinya mempunyai saudara kembar semacam Raffasya Kalandra. Meski kadang menyebalkan, tapi Dafi tahu kalau sang kakak menyayanginya. Ditambah lagi, walau kadang selalu bersikap protektif, tapi Dafi---mungkin---berpikir kalau itu lebih baik dibanding tidak diacuhkan sama sekali.

Ketiga, mungkin Dafi harus bersyukur karena hidupnya tidak sedrama di novel-novel yang biasa dibaca oleh sang bunda (bahkan sampai ia menangis sesenggukan sepanjang malam). Yah, setidaknya begitulah menurut Dafi. Atau setidaknya, begitulah yang ia rasakan selama ini.

Setiap harinya, masih ada banyak alasan kenapa Dafi harus terus bertahan. Salah satunya adalah cowok yang duduk di sebelahnya, sang kakak yang sedang fokus menyetir. Seseorang yang sudah menemaninya bahkan sejak masih berada di dalam kandungan.

Mobil yang dikendarai Rasya sudah berhenti di depan gedung Jurusan Keperawatan. Dafi menoleh sejenak, menatap Rasya yang tersenyum ke arahnya. Lalu, decakannya muncul saat Rasya menjulurkan tangannya.

"Salim dulu, Adek kecil!"

Dafi menepis tangan Rasya, yang langsung saja membuat wajah cowok berkemeja putih itu merengut. "Nggak, nggak mau," balas Dafi. Diraihnya tas yang berada di kursi belakang. "Gue berangkat dulu."

"Berangkat? Lo udah sampai," sahut Rasya. Tangannya dikibaskan di depan wajah Dafi. Masih agak tersakiti karena sang adik menepis tangannya begitu saja. Sungguh tidak sopan!

"Terserah, deh," gumam Dafi. Ia membuka pintu mobil, lalu langsung keluar. Kedua tungkainya melangkah, menyusuri lobi utama hingga akhirnya ia berada di depan lift. Segera saja, Dafi menekan tombol lift.

Suasana gedung jurusan sudah lumayan ramai. Beberapa civitas akademika terlihat menyusuri lorong yang berada tepat di depan ruangan para jajaran. Mulai dari sekretaris prodi, hingga ketua jurusan. Beberapa mahasiswa juga tampak beraktivitas.

Pagi yang sibuk, seperti biasanya.

"Dafian!" Sapaan itu terdengar, membuat Dafi menoleh. Tak jauh darinya, Kania, teman sekelasnya yang menjabat sebagai sekretaris kelas, berdiri. Senyumnya tampak lebar. Dengan langkah cepat, perempuan berkerudung hijau itu menghampiri Dafi. "Gimana? Makalah udah selesai? Hari ini kita konsultasiin ke Bu Mira, ya."

Dafi mengangguk. Keduanya memasuki lift saat pintu terbuka.

"Iya, udah gue benerin, kok." Dafi berucap. Ditekannya tombol lift yang menunjukkan angka empat. "Tapi, kalau Bu Mira masih komen, maaf aja."

Kania tertawa geli. "Santai aja, dosen emang suka begitu." Ditepuknya punggung Dafi beberapa kali. Lalu, ia menghela napas panjang. "By the way, lo tahu 'kan kalau sebentar lagi pemilihan mawapres?"

Dafi melirik Kania sejenak. Ketika pintu lift kembali terbuka di lantai empat, Dafi segera beranjak ke luar. Kania berjalan mengikutinya, masih menunggu jawaban Dafi.

"Tahu, kok. Kenapa?" Dafi balas bertanya. "Jadinya lo yang ngewakilin 'kan?"

Kania mengangguk pelan. "Lo nggak apa-apa? Kalau lo ngambil kesempatan itu, mungkin aja lo bisa terpilih. Itu kesempatan yang bagus, Daf." Kania berucap pelan. Ia berhenti berjalan, membuat Dafi ikut berhenti. Padahal, tinggal beberapa langkah lagi mereka smapai di ruang 412, ruang kelas mereka.

"Gue nggak enak, loh. Rasanya, gue kayak udah ngambil kesempatan lo gitu aja." Kania tertawa renyah sejenak.

Dafi tersenyum tipis. Benar-benar tipis hingga Kania tidak menyadarinya sama sekali. Kesempatan, ya? batin Dafi bersuara, lantas membuat ia menghela napas panjang.

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang