Twenty Seven

3.2K 361 10
                                    

Rasya sebenarnya tidak suka keheningan. Ia lebih baik berada di keramaian, entah itu berkumpul dengan teman-temannya atau mengganggu Dafi. Untuk opsi kedua, agak sulit karena setelahnya Rasya akan ditendang menjauh.

Namun, Rasya sadari berada di taman bukan sesuatu yang terlalu buruk. Di tangannya ada segelas es kopi, minuman yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasanya yang pahit dan membuat asam lambung Rasya bergejolak, tapi dengan sengaja tetap diteguknya.

Rasya masih tidak habis pikir dengan perkataan Alsha. Ia sudah berusaha bersikap baik, tapi sepertinya belum mampu membuat cewek itu luluh. Hubungan mereka bukannya membaik, malah diperparah dengan Alsha yang asal ceplos begitu saja. Rasya juga tidak dapat menerima perkataannya, mau itu benar atau tidak.

Satu hal yang Rasya syukuri adalah ia yang mendengarnya dan bukan Dafi. Rasya tidak bisa membayangkan apabila yang ditemui Alsha pertama kali adalah saudara kembarnya tersebut. Mungkin, keadaan akan berbanding terbalik.

Mungkin ... perkataan itu mampu memengaruhi kondisinya.

Rasya menarik napas panjang, menghirup udara dingin yang sedari tadi berembus. Aromanya melati, efek dari tanaman yang berada di dekatnya. Suasana cukup gelap, tapi tidak mampu membuat Rasya beranjak dari tempatnya.

Bagaimana tampangnya saat ini, Rasya tidak tahu. Ia mungkin akan kembali ke kamar Dafi setelah benar-benar bisa menetralkan perasaannya. Rasya tidak ingin Dafi kemudian mempertanyakan apa yang terjadi tadi.

"Rasya?" Suara Arsya terdengar, membuat Rasya yang awalnya hampir kembali menyesap kopinya, menoleh. Sedikit terkejut karena dikira ia berada di sini sendiri. "Kamu minum kopi? Tumben."

"Hm, iya. Aku penasaran rasa kopi gimana," jawab Rasya asal. "Enak juga ternyata."

Arsya tersenyum tipis. Ia memutuskan untuk duduk di sebelah Rasya sebelum mengunjungi Dafi dan pasiennya yang lain. "Muka kamu nggak nunjukkin kalau kamu bisa nikmatin kopi," ucap Arsya. Ia tertawa, lalu merebut gelas kopi di tangan Rasya. "Jangan dipaksain kalau kamu nggak suka. Lambung kamu kuat?"

"Kuat, kok." Rasya kembali merebut gelas kopinya dan meneguknya hingga tandas.

"Kalau tiba-tiba lambung kamu sakit, Ayah nggak mau bantu suntikin Ranitidine, loh."

Rasya mendengkus pelan. "Ada Bunda, tenang aja. Bunda lebih jago nyuntik daripada Ayah."

Arsya lagi-lagi tertawa. Ucapan Rasya seratus persen benar. "Tapi, serius, Kak. Kamu lagi ada masalah, ya, sampai duduk di sini sendirian?"

Rasya untuk sejenak menegang. Ia menahan napasnya, sebelum kembali mengembuskannya dengan berat. Omongan Arsya tepat sasaran. Antara punya masalah dan tidak, benar-benar terlihat pada diri Rasya.

"Tadi, Alsha ke sini," ujar Rasya pada akhirnya. "Cuma sebentar, nggak sempat ketemu Dafi juga. Soalnya ... aku usir duluan." Suara Rasya mengecil di akhir kalimatnya. Ia merasa tidak enak ketika harus mengakui hal tersebut.

Arsya tampak terkejut. "Loh, kenapa?" tanyanya heran. Setahu Arsya, yang bersikap baik pada Alsha selama ini adalah Rasya. Jika Dafi, mungkin ia tidak akan seterkejut sekarang.

"Kamu ada masalah sama dia?" Arsya kembali bertanya.

Rasya menggeleng pelan. Ia menunduk dan tersenyum kecut. "Dia ... tiba-tiba ngomong ke aku soal ... kenapa aku bisa ada di dunia ini," ungkap Rasya. Ia kemudian kembali mengangkat kepala, menatap Arsya dengan kedua manik madunya yang tergenangi air mata. "Yah, apa perkataannya benar? Apa benar aku anak yang nggak pernah diharapin buat ada?"

Arsya tidak menjawab. Ia memang tahu masalah tersebut. Tapi ... rasanya tidak etis untuk membicarakannya.

"Aku pengin nggak peduli soal itu. Sejak tadi, aku mikir kalau aku pasti bisa lupain itu. Tapi ...." Rasya menggigit bibir bawahnya sejenak. "Ternyata aku kepikiran juga. Aku ... anak yang nggak diharapin. Aku seharusnya nggak ada di sini, 'kan? Soalnya ... aku anak haram, 'kan?"

Arsya lantas menggeleng cepat. "Nggak ada istilahnya anak haram, Kak." Arsya membalas singkat. Lebih ke arah tidak tahu harus bicara apa. Satu kesalahan bisa saja membuat suasana hati Rasya memburuk.

"Aku anak yang udah hancurin hubungan orang lain, loh, Yah." Rasya tertawa getir. Ia menutup kedua mata dengan tangannya. "Untung aja ... untung aja aku yang tahu duluan. Aku nggak bisa bayangin kalau yang ditemuin Alsha justru Dafi."

"Kak ...."

"Soal ini, jangan sampai Dafi tahu, ya, Yah." Rasya mengusap kedua matanya. "Biar aku aja yang tahu."

"Iya." Arsya mengusap punggung Rasya dengan lembut. Ia juga tidak akan membiarkan Dafi tahu mengenai hal tersebut. Toh, mau tahu atau tidak, tidak akan ada yang berubah. "Kamu mau ke ruangan sekarang?"

Rasya mengangguk pelan. Ia bangkit, namun kembali terduduk tepat setelah merasakan sakit di perutnya. Rasya meringis pelan.

"Yah." Rasya tertawa sesaat. "Kayaknya aku beneran butuh Ranitidine."

•••

Dafi mengerutkan keningnya heran begitu melihat Arsya masuk ke kamar seorang diri. Dikiranya, Rasya juga akn berada di sana. Tetapi, kakak kembarnya itu belum terlihat sama sekali, bahkan setelah terakhir kali izin akan ke taman.

Sudah pukul sembilan malam dan wajar saja Dafi merasa khawatir. Ponsel serta kunci mobilnya masih berada di sana. Berarti, Rasya belum pulang ke rumah.

"Kakak mana?" tanya Dafi begitu Arsya duduk di kursi sebelah bed-nya.

"Ruang tindakan," jawab Arsya singkat. "Kamu gimana keadaannya? Ada yang sakit sekarang?"

Bukan berfokus pada pertanyaan Arsya, Dafi justru kembali bertanya. "Kak Rasya di ruang tindakan? Kenapa? Ada masalah?"

"Nggak ada masalah yang serius," jawab Arsya. Ia bersandar pada sandaran kursi dan menghela napas. "Cuma butuh sedikit Ranitidine. Tadi Ayah udah suruh Bintang."

Kedua manik madu Dafi menyipit. "Perasaan tadi Kak Rasya udah makan," ungkapnya. "Nggak kayak biasanya, deh. Tingkahnya juga agak aneh."

Arsya tersenyum tipis dan menggeleng. "Tadi, dia coba-coba minum kopi. Penasaran katanya. Padahal, lambungnya nggak kuat." Arsya menjelaskan. "Mungkin setelah ini dia datang. Kamu tahu sendiri kakak kamu itu paling takut disuntik. Pasti lama."

"Tahu banget." Dafi terkekeh geli. "Ngomong-ngomong, kapan aku boleh pulang?"

"Ummm, kita observasi dulu sehari lagi, ya. Kalau besok nggak ada keluhan, lusa kamu udah bisa pulang," jawab Arsya. "Terus, sekarang kamu ada keluhan nggak?"

"Ayah berharap aku jawab aku ada keluhan?"

"Ayah berharap kamu jujur." Arsya menghela napas sejenak. "Kamu sering bilang nggak ada keluhan, tiba-tiba drop. Nggak begitu harusnya, Dek. Kamu harus jujur sama apa yang kamu rasain."

"Tapi, emang nggak ada keluhan, kok." Dafi mengelak. "Kemarin juga nggak tahu kenapa tiba-tiba aku kambuh. Padahal, sesaknya juga udah berkurang. Aku juga lagi santai, kok."

"Iya, iya. Ayah percaya sama kamu." Arsya tersenyum tipis. Tangannya mengusap puncak kepala Dafi perlahan. "Lusa, ya. Semoga malam ini dan besok kamu nggak ada keluhan lagi."

Dafi mengerucutkan bibirnya. "Kenapa nggak besok aja?"

"Ayah nggak mau ambil risiko dulu," jawab Arsya singkat. Ia bangkit dari bangkunya. "Ayah ke nurse station dulu, ya. Sekalian mau liat Kakak."

"Hm, iya." Dafi bergumam pelan. "Kalau ketemu Kak Rasya, tolong bilangin buat ke sini, ya. Aku ... lagi nggak mau sendiri."

"Iya, tenang aja."

Lalu, ketika Arsya keluar dari ruangan, suasan kembali hening. Dafi terdiam di tempatnya dan menghela napas panjang. Sedikit banyak, tadi ia sempat mendengar percakapan Rasya sebelum kembali masuk ke kamar dan izin ke taman.

Dafi berusaha tidak tahu, tapi rasanya ada hal yang mengganggu pikiran Dafi.

Omongan Alsha tadi ... apa maksudnya?

•rendirse•

A/n

Rasanya rindu ahahahaha :")

Ini mah keknya aku bakal lebih aktif nulis kalau dah di belanda ahahahaha gak sabar bisa aktif lagi

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang