Twenty Five

6.7K 570 47
                                    

"Tadi makan apa?" Dafi bertanya. Hari ini, rasanya benar-benar membosankan. Tidak ada pesan dari teman sekelasnya selain pemberitahuan tugas, tayangan di televisi pun membosankan. Ketika Dafi membuka laptop, berniat menonton film, tidak ada satupun yang belum pernah ditontonnya. Dafi sedang tidak ingin rewatch.

"Chicken katsu yang kemarin gue tumpahin pas dengar code blue," jawab Rasya. Ia tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya. Senyumnya sedari tadi terkulum, membuat Dafi heran. Bisa-bisanya kakaknya itu senyam-senyum sendiri sementara Dafi sudah bosan setengah mati.

"Ngeliatin apa?"

Rasya melirik Dafi. "Tumben banyak nanya."

Dafi menggembungkan pipinya. Ia mengayunkan kakinya yang menggantung di sisi bed. "Gue out of character banget nggak, sih, Kak?"

"Banget, Daf. Lo kenapa?" Rasya balas bertanya. Pada akhirnya, ia menurunkan ponsel dari pandangannya. "Gue nggak terima jawaban pesimis."

"Kalau gue jawab gue nggak mau meninggalkan kesan buruk, itu pesimis atau enggak?"

Rasya yang awalnya duduk di sofa langsung berpindah posisi ke sebelah kembarannya tersebut. "Pernah ngerasain rasanya dijewer sama dosen nggak?" Rasya malah balas bertanya. "Nih, kalau nggak pernah, biar gue wakilin dosen-dosen lo."

Kurang dari satu detik setelah kata terakhir yang Rasya ucapkan, ia langsung menarik daun telinga Dafi. Ringisannya terdengar, lengkap dengan permintaan ampun yang tidak akan pernah Rasya kabulkan. Enak saja bisa bicara seenaknya di hadapan Rasya.

"Ya, tapi 'kan benar!" seru Dafi kesal, "Manusia itu kalau mati pasti meninggalkan kesan. Kecuali kalau lo nggak punya teman. Lo 'kan teman hidup gue."

Rasya meringis saat mendengar kalimat terakhir Dafi.

"Serius, Kak. Tadi lo lihat apa?" Dafi kembali ke topik awal. Ia melirik ponsel putih yang ada di genggaman Rasya. Bukan tanda tanya yang memenuhi manik matanya, tapi kebosanan.

"Oh, ini." Rasya menekan tombol power, lalu memasukkan kata sandi. Dengan cepat, layar yang semulanya hitam menampilkan sebuah foto.

 Dengan cepat, layar yang semulanya hitam menampilkan sebuah foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lucu nggak? Bunda baru aja kirimin. Katanya, dia nemu di album lama."

Kedua kelopak mata Dafi menyipit. Sepertinya kemampuan kedua lensa matanya dalam berakomodasi mulai berkurang. Mungkin, setelah ini ia harus mengunjungi spesialis mata.

"Foto siapa itu?" tanya Dafi penasaran.

Rasya nyengir. Ia meletakkan ponsel di atas pangkuannya lalu merangkul Dafi. Tanpa menjawab, ia menggosokkan kepalan tangannya di puncak kepala Dafi.

"Siapa?"

"Lo sama gue. Hehe."

"Ha?"

Rasya melepaskan rangkulannya. Tangan kiri Rasya terangkat, seolah hendak meraih sesuatu, yang langsung saja membuat kedua alis Dafi tertaut heran. Seperti biasa, tingkah Rasya aneh.

"Katanya, kalau kembar nggak bakal pernah kepisah 'kan?" Rasya berujar. Senyumnya terulas. "Berarti ...."

"Berarti ...?"

"Berarti ...."

Dafi menggerung kesal. "Berarti apa, anjir?!" serunya marah. Lama-lama, kepala Dafi terasa pening. Sepertinya tekanan darahnya meningkat karena tingkah Rasya.

Rasya lagi-lagi tidak menjawab. Malahan, ia langsung meraih tubuh Dafi dan memeluknya erat. Digoyang-goyangkannya tubuh sang adik dengan gemasnya.

Langsung saja, Dafi mendengkus kesal dan mendorong tubuh Rasya. Cowok itu hampir terjengkang, tapi untungnya tidak sampai jatuh ke lantai dan menghantam sesuatu. Masalahnya, kalau hal itu terjadi, mungkin saja diagnosis Dafi bertambah, yaitu perilaku kekerasan.

"Aduh, kasarnya," keluh Rasya. "Ya, berarti, kita nggak akan pernah terpisahkan selamanya." Perlahan, Rasya kembali bangkit. Ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Padahal, sedari tadi kerjaannya hanya duudk-duduk, bermain ponsel, dan mengganggu Dafi.

"Gue mau beli camilan. Lo mau?" tanya Rasya, "Eh, whoops! Tapi, menu makan lo lagi diatur sama ahli gizi." Ia tertawa terbahak, seolah menertawakan nasib buruk saudaranya tersebut.

Dafi lantas merotasikan kedua bola matanya. "Gue juga biasanya dapat biskuit cokelat," ucapnya, sekaligus berusaha menenangkan dirinya sendiri. Nasibnya memang buruk.

Ia tidak pernah bisa makan sembarangkan. Selama ini kedua orang tuanya selalu mengatur asupannya. Menyebalkan memang, Dafi tahu itu. Sementara anak lain bisa makan apapun yang mereka inginkan, Dafi hanya bisa berangan-angan.

"Mau minta sedikit, boleh."

Rasya sontak tersenyum lebar. Ia menjulurkan lidahnya, bermaksud menggoda Dafi. "Enak aja."

•••

Begitu Rasya menutup pintu kamar rawat, ia langsung dihadang oleh sosok Alsha. Langsung, ia mengusap dadanya terkejut. Untung saja yang tiba-tiba muncul adalah Alsha, coba kalau makhluk lain. Sudah dipastikan Rasya akan menjadi salah penyebab kehebohan di ruangan tersebut.

"Hai, Sha," sapa Rasya ramah. Senyumnya tampak lebar hingga kedua kelopak matanya menyipit. "Ada apa, nih? Tumben datang. Kangen sama gue, ya?"

Seperti tidak menghiraukan wajah Alsha yang masih saja tampak kusut di hadapannya, Rasya mengerlingkan sebelah matanya. Lucu, sih, tapi Alsha benar-benar tidak peduli.

"Ngapain gue kangen sama anak haram kayak lo?" gumam Alsha sinis. Meski begitu, Rasya masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Gue ke sini disuruh."

"A ... pa?" Rasya tergugu. Ia mengerjapkan kedua kelopak matanya dan mundur selangkah. "Apa maksud lo ngomong begitu?"

"Oh, belum tahu, ya? Coba tanya ke bunda lo, deh. Berapa umur lo sekarang? Delapan belas? Sembilan belas?" Alsha berdecak pelan. Senyum miringnya terbit. Ia melipat kedua lengannya di depan dada.

Rasya tertawa renyah. Meski begitu, binar tersakiti tampak di kedua manik matanya. "Nggak usah ngomong yang nggak benar, deh. Gue tahu lo benci sama gue, tapi jangan gitu juga kali." Ia lagi-lagi tertawa. Hal yang paling menyebalkan, Rasya tidak bisa menahan kedua kelenjar air matanya untuk tidak bereaksi mengeluarkan cairan.

"Belum pernah diceritain, ya, kenapa lo bisa ada di dunia ini?" Alsha tertawa sinis. "Oh, dan bilang ke kembaran lo yang penyakitan itu---"

"Pergi," bisik Rasya lirih. Tatapannya tajam, tidak seperti biasanya.

Alsha berhenti berbicara. Ia tidak pernah mendengar Rasya berbicara dengan nada rendah. Lantas, tungkainya mundur selangkah.

"Lo bisa tanya---"

"Kalau lo emang cuma mau ngomong begitu, pergi."

Alsha berbalik. Sepertinya salah karena ia sudah menuruti omongan sang ayah. Oh, Alsha tidak bisa juga memungkiri kalau dirinya asal bicara.

Setelah sosok Alsha hilang dari pandangannya, Rasya bersandar di dinding. Dinginnya udara di ruangan malam ini cukup membuatnya meringis pelan. Ditambah dengan ucapan Alsha yang tidak tahu benar atau salah, mampu membuat kedua tungkai Rasya melemah.

Ia mengusap wajahnya dan menunduk. Apa-apaan itu?!

•rendirse•

A/n

Outline aku ilang ;-; pada ilang semua ;-; dan aku lupa percakapannya pas itu gimana ;-; saaaad

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang