Fourteen

5.9K 678 16
                                    

"Gue baru ingat kalau hari ini nggak kuliah seharusnya." Dafi yang sedang duduk di atas ranjang Rasya berucap, membuat sang kakak yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin, berhenti beraktivitas. Alisnya tertaut heran.

"Libur?"

Dafi menggelengkan kepalanya, lalu menjatuhkan dirinya ke belakang. Tangannya perlahan mengusap seprai biru yang agak dingin. "Hari ini waktunya gue check up."

Rasya membalik tubuhnya, membiarkan rambutnya yang masih acak-acakan. Padahal, Rasya terkenal dengan kerapiannya, tapi hari ini ia seolah sedang tidak peduli. Ia berjalan menghampiri Dafi, menarik kursi meja belajarnya, lalu duduk di sana, tepat di hadapan saudara kembarnya itu.

"Tumben Ayah nggak ngingetin sejak semalam. Bunda juga," sahut Rasya, "mau gue antar?"

Dafi tampak berpikir sejenak. Kedua manik teduhnya menatap langit-langit kamar Rasya yang dicat abu-abu. Ia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu berkata, "nggak usah, Kak. Lo kuliah aja."

"Nggak apa-apa. Gue bisa izin dulu," celetuk Rasya santai. Ia memutar kursinya perlahan. "Gue nggak bisa biarin lo sendirian."

"Sendiri? Gue sama Ayah bisa, Kak," balas Dafi. Ia tersenyum tipis, benar-benar tipis. Tapi, Rasya dapat melihat perubahan tersebut. Lantas, Rasya ikut tersenyum. "Lagian juga, Kak, ada banyak tes yang harus gue jalanin. Rontgen thorax, echo, EKG, apa lagi, ya? Gue juga harus konsultasi dulu. Kira-kira ... hasilnya gimana, ya?"

Rasya berdeham sesaat. Ia bangkit, lalu ikut berbaring di sebelah Dafi. Bodo amat dengan rambutnya yang masih acak-acakan dan kemeja yang sudah dikenakannya.

"Karena lama, gue mau nemenin lo." Rasya menoleh. Ditatapnya Dafi yang masih saja terus menatap langit-langit. Rautnya tampak tidak terbaca di mata Rasya.

"Absen lo, tuh, pikirin." Dafi mendengkus pelan. Ia melempar handuk yang sedari tadi melingkar di lehernya. "Gue mau turun, deh. Mau makan. Sekalian nemuin Ayah."

Rasya ikut bangkit, lalu berjalan cepat mengejar Dafi. "Mau ikut, boleh, ya." Rasya lagi-lagi merajuk. Ia menggoyangkan lengan Dafi yang jelas-jelas terganggu dengan tingkah kekanakan dirinya. "Gue sebenarnya lagi malas kuliah hari ini. Ada matkulnya dokter Evi. Dia 'kan seram."

Dafi memutar kedua bola matanya. Meski risi dengan perlakuan Rasya, ia tidak juga berlari menuruni tangga. Yang ada, langkahnya diperlambat. Berharap Rasya bosan menunggu dan mendahuluinya. Tapi tetap saja, sang kakak dengan setia mengekor dan menunggu persetujuan Dafi.

Dafi pada akhirnya kesal sendiri. "Iya, iya! Terserah lo, deh," ucap Dafi. Ditatapnya sang kakak yang tampak kesenangan sendiri. "Tapi, pulangnya kita makan dulu. Gue pengin sashimi rasanya."

Rasya menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, gue bayarin, deh."

Yah, seenggaknya hari ini dapat makan gratis, batin Dafi.

Begitu mendengar ucapan Rasya, Dafi langsung berjalan menuju ruang makan. Ia ingin segera memakan makanannya, lalu berangkat ke rumah sakit. Tapi, aktivitasnya terhenti ketika menyadari bahwa Alsha duduk di salah satu bangku di sana.

Nafsu Dafi mendadak menguap. Ia membuang pandangannya dan mendengkus ketika secara tidak sengaja tatapan keduanya bertabrakan. "Aku langsung ke rumah sakit, deh," ucap Dafi. Ia langsung menarik tangan Rasya menuju teras. "Yuk, Kak. Katanya lo mau ngantar gue."

"Dek, dimakan dulu sarapannya!" Suara Arsya terdengar. Tapi, Dafi tidak juga berhenti berjalan.

"Nggak usah, Yah. Biar nggak terlalu ramai." Dafi membalas. Ia meraih sepatu yang ada di rak sepatu, lalu menggunakannya.

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang