Sixteen

6.1K 658 43
                                    

Adek tingkat 1: Kak, aku suka sama Kakak. Boleh nggak, Kak?

Rasya baru saja kembali dari kamar Dafi ketika pesan itu masuk ke ponselnya. Kedua kelopak mata Rasya mengerjap beberapa kali saat membaca pesan. Wajahnya lantas memerah. Apa-apaan itu?

Raffasya: Ha?

Raffasya: Kok bisa?

Tidak perlu menunggu waktu lama, pesan itu langsung dibaca oleh sang penerima. Muncul tanda bahwa adik tingkatnya itu mulai mengetik. Lama, hingga Rasya malas untuk menunggu dan memilih untuk menekan tombol home.

Sambil menunggu balasan, Rasya membaringkan tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamar. Sampai terdengar suara pesan masuk. Cepat-cepat Rasya membuka pesan itu. Yah, Rasya penasaran juga sejujurnya.

Adek tingkat 1: Nggak tahu kenapa. Aku suka aja ngeliat Kakak. Apalagi kalau Kakak lagi ke kantin. Boleh nggak sih kalau nggak pakai alasan, Kak?

Rasya terkekeh geli. Begini, ya, rasanya dapat pengakuan cinta dari seseorang secara tidak langsung? Rasanya lucu juga. Membuat Rasya senyam-senyum sendiri.

Adek tingkat 1: Sejujurnya, aku juga suka ngeliat Kakak pas lagi belajar di perpus. Mungkin karena emang sering merhatiin Kakak (?) Atau karena Kakak satu-satunya kakak tingkat yang baik banget ke adek tingkatnya (?)

Rasya tertawa. Alasan macam apa itu? Jelas-jelas fakultas mereka memang tidak menerapkan senioritas yang berlebihan. Memang sudah kewajiban seorang kakak tingkat untuk bersikap baik kepada adik tingkatnya, begitu pun sebaliknya.

"Intinya, boleh 'kan aku suka Kakak? Aku nggak mengharap balasan, kok." Tiba-tiba saja, suara yang Rasya kenal sebagai suara Kiana terdengar, membaca pesan yang baru saja masuk itu. Rasya lantas bergidik, mengunci layar ponselnya, dan menoleh. Benar saja, Kiana sedang berdiri di sebelahnya, dengan senyum geli yang tersungging di bibirnya. Wajah Rasya makin memerah malu.

"Bunda! Apaan, sih?!" Rasya merengut kesal. "Kenapa nggak ketuk dulu kalau mau masuk kamar aku?"

"Yah, soalnya Bunda dengar ada yang ketawa-tawa sendiri di sini. Yaudah, langsung aja Bunda samperin. Kirain Kakak kesurupan atau kenapa, gitu," balas Kiana.

Rasya mendengkus kesal. "Aku balas ini dulu, deh," ucapnya. Percuma saja menutupi, sang bunda juga sudah tahu 'kan?

"Mau Kakak balas gimana? Bunda penasaran." Kiana duduk di sebelah Rasya. Dirinya curi-curi pandang ke layar ponsel putranya tersebut. "Mau Kakak terima, ya? Atau Kakak tolak?"

"Rahasia." Rasya tersenyum menggoda sebelum akhirnya pindah posisi dan mulai mengetik. Melihat itu, Kiana lantas mengerucutkan bibirnya. Ia ikut berpindah, tapi Rasya benar-benar menutupi layar ponselnya.

Raffasya: Oh, gitu. Makasih ya, udah suka sama gue. Gue jadi bingung mau jawab apa, karena emang iya, gue nggak berminat buat pacaran dulu. Fokus kuliah soalnya.

Rasya tersenyum miring. Klise sekali alasannya, Raffasya, batinnya mengejek diri sendiri.

Adek tingkat 1: Nggak apa-apa, kok, Kak. Semangat kuliahnya ya, Kak.

Raffasya: Iya, lo juga. Kuliah di sini bakal berat banget ke depannya, tapi gue yakin lo bisa. Semangat!

Adek tingkat 1: Iya, Kak. Soalnya aku mau ngebuat ortu aku bangga, he-he.

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang