Thirteen

6.3K 687 22
                                    

"Jangan sok peduli sama gue."

Rasya mengerjap. Ia lantas melepaskan pegangannya pada pundak Alsha. Sok peduli katanya?

"Gue nggak sok peduli, kok," bantah Rasya. Raut wajahnya tampak dibuat semeyakinkan mungkin. Hal itu membuat kedua netranya membulat. "Gue emang peduli sama lo."

Alsha berdecih pelan. Nada suara Rasya terdengar meyakinkan. Tapi, Alsha malah berpikir kalau cowok itu berbicara sebelum berpikir. Kenapa pula dirinya harus peduli pada Alsha?

"Gue udah bilang kalau gue bisa pergi sendiri," ucap Alsha sekali lagi. Ia memejamkan kelopak matanya untuk sejenak. Embusan angin yang menyapu permukaan kulit putihnya membuat Alsha tanpa sadar mengeratkan kepalan tangannya. "Mending lo pulang. Gue nggak butuh lo sama sekali."

Rasanya, lidah Rasya seolah kelu. Ia tidak lagi dapat berbicara, bahkan ketika Alsha mulai kembali melangkahkan kedua tungkai jenjangnya. Kaki Rasya seolah terpaku ke jalanan, hingga membuat dirinya tidak dapat berkutik di tempatnya.

Hingga ketika sosok Alsha tidak terlihat lagi di perempatan jalan, Rasya hanya bisa menghela napas. Ia mendongak, menatap langit yang tampak cerah. Taburan bintang yang jarang terlihat di langit Jakarta tanpa Rasya sadari membuatnya tersenyum sendu.

Perlahan, Rasya mengembuskan napasnya. Ia berbalik. Ditelusurinya jalan menuju rumah yang hanya diterangi oleh lampu temaram.

Rasya tidak pernah menyangka, rasanya menyakitkan di saat Alsha akan menganggap bahwa dirinya hanya berlagak baik. Padahal, Rasya benar-benar tulus. Karena pada dasarnya, Rasya adalah tipe orang yang tidak dapat tidak acuh pada orang lain.

Yah, mungkin saja, Rasya terlalu cepat. Alsha tidak mungkin dapat menerimanya semudah itu.

•••

Dafi berbaring di atas sofa ruang tamu, sementara kedua kakinya berada di lengan sofa, hingga menjuntai ke sisinya. Di atas perut Dafi, terdapat sebuah kotak berukuran sedang. Perlahan, Dafi mengangkat tangannya dan menutupi kedua matanya dengan lengan.

Dafi menguap pelan, agak bosan menunggu Rasya yang tidak juga kembali. Setahu Dafi, Rasya tadi memang keluar rumah, entah ke mana. Padahal, kakaknya itu jarang berpergian jika sudah malam.

Perlahan, Dafi bangkit. Diletakkannya kotak yang dibungkus kertas kado berwarna biru tersebut ke atas meja. Cowok berkaos putih itu merenggangkan tubuhnya, bersiap bangkit dan kembali ke kamarnya ketika tiba-tiba saja pintu utama rumah terbuka.

Dafi lantas menoleh. Kedua manik madunya menyipit, seiring dengan masuknya sosok Rasya yang tampak lesu. Dafi meraih kotak di atas meja, lalu bangkit.

"Kak, abis dari mana?" tanya Dafi cepat. Ia menatap wajah yang serupa dengan wajahnya itu. Pandangan teduhnya tampak sendu malam hari ini.

"Cuma dari luar sebentar, nyari angin," jawab Rasya. Ia tersenyum lembut, seiring dengan lirikan matanya yang menangkap kotak di tangan Dafi. "Itu apa?"

"Oh." Dafi mengangsurkan kotak tersebut ke tangan Rasya. "Permintaan maaf gue, sesuai sama yang lo mau."

Rasya lantas tersentak. Ia mengerjap beberapa kali. Diraihnya kotak tersebut, lalu digoncangkannya perlahan. Kelopaknya menyipit saat menatap Dafi.

"Apa yang gue mau? Stetoskop?" tanya Rasya sekali lagi.

"Hm." Dafi bergumam pelan. "Udah 'kan? Maafin gue, ya. Gue tahu gue amat sangat bodoh karena udah ngebuat lo khawatir."

Rasya tersenyum senang. Kedua maniknya tampak berkaca-kaca. Tangannya yang bergetar, meraih tubuh Dafi dan memeluknya dengan erat. "Padahal gue cuma bercanda," ucap Rasya, "tanpa lo kasih apapun, gue pasti maafin lo."

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang