Seventeen

6.3K 688 38
                                    

Baru beberapa meter dari rumah, Dafi sudah mengeluh lelah. Ia duduk di rerumputan, tidak peduli pada embun pagi. Kedua kakinya diselonjorkan, sementara kedua tangannya menopang tubuh dari belakang. Sementara di hadapannya, Rasya memperhatikan. Lalu, Rasya meluruh, ikut duduk.

Angin lagi-lagi berembus, menerbangkan dedaunan cokelat yang pasrah saja, mengikuti ke mana arah angin bertiup. Suasana taman saat ini masih sepi, berhubung masih pukul setengah enam pagi. Dafi dan Rasya duduk di pinggir taman, dekat ayunan. Awalnya, suasana hening. Hingga akhirnya, Rasya buka suara.

"You okay?"

Dafi memaksakan seulas senyuman. "Lo sering banget nanya gitu ke gue, ya." Ia tertawa singkat. "I'm fine. Nggak usah gitu banget ngeliatinnya."

Rasya tetap tidak bisa tenang. Ia menyerahkan botol minum yang sedari tadi dibawanya. "Minum dulu," titahnya. Tanpa banyak omong, Dafi menerimanya, lalu meneguk airnya. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak bisa mengurangi rasa nyeri di dadanya.

Raut bersalah tampak jelas di wajah Rasya. Ia menunduk dalam. "Maaf," gumamnya lirih. Ia bahkan tidak berani menatap wajah saudara kembarnya itu sama sekali. Lalu, rasa takut menghampirinya.

Rasya tidak tahu bagaimana jadinya kalau Dafi pulang dalam keadaan seperti ini. Ayah ... pasti akan memarahinya lagi. Berkata bahwa ia bukahlah kakak yang baik dan hanya bisa membawa kesulitan untuk Dafi.

Jantung Rasya mendadak berdetak lebih cepat. Membayangkan sang ayah yang menunggunya di depan pintu benar-benar membuatnya merasa takut. Keringat dingin mengalir membasahi tubuhnya yang bergetar. Rasya meraih tangan Dafi, kemudian digenggamnya dengan erat.

"Kak ...."

Rasya menggeleng cepat. Ia tidak boleh kembali tenggelam pada masa lalunya. Sebisa mungkin, Rasya tersenyum dan membantu Dafi berdiri.

"Kita pulang, ya," ajak Rasya.

Dafi ingin mengangguk. Tapi, ia mendadak mengingat satu hal. "Bubur ayam sama sate usus gue gimana?"

•••

Nyatanya, rasa takut Rasya tidak menjadi kenyataan. Hanya ada Kiana yang berada di depan pintu, menyambut mereka berdua. Tidak seperti Azil, Kiana menyambut mereka dengan senyuman. Dan saat melihat wajah Dafi tampak lebih pucat, Kiana segera mengambil alih putranya itu.

"Adek kenapa?" tanya Kiana ketika pada akhirnya Dafi duduk di sofa ruang tamu. Tangannya mengusap surai Dafi yang menutupi keningnya. Keringat sebesar biji jagung tampak membasahi keningnya. Lalu, pandangan Kiana beralih pada Rasya yang berdiri di dekatnya. "Kak, Adek kenapa?"

"Maafin aku, Bun," gumam Rasya pelan, "aku salah. Seharusnya, aku nggak maksa Dafi. Maaf aku ngelakuin kebodohan lagi. Maaf, maaf, maaf."

Kiana menggeleng cepat. Ia berdiri, lalu memegang pundak Rasya dan menyuruh putranya itu untuk duduk di sebelah Dafi. "Enggak, kamu nggak salah." Kiana tersenyum lembut dan mengusap puncak kepala Rasya.

"Bunda ambilin minum dulu, ya," ucap Kiana, "Adek, kalau masih sakit, obatnya diminum. Kakak, adeknya dijaga dulu."

Lalu, Kiana berjalan ke dapur, meninggalkan Rasya dan Dafi yang masih terduduk di atas sofa. Dafi menyenderkan tubuhnya.

"Maaf." Dafi tiba-tiba saja berucap.

Rasya menautkan alisnya. "Maaf untuk?"

"Nyusahin lo selama ini." Dafi menarik napas panjang. Masih agak sesak, meski tidak sesesak tadi.

Rasya menggeleng pelan. "Lo nggak pernah nyusahin gue," balasnya. Ia ikut tersenyum, lalu menepuk puncak kepala Dafi. "Maaf karena udah maksa lo tadi."

RendirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang