- Pesan Singkat -

8 0 0
                                    

Saat itu aku sedang makan malam bersama keluarga Griya Beraban ketika ponselku bergetar tanda pesan singkat masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat itu aku sedang makan malam bersama keluarga Griya Beraban ketika ponselku bergetar tanda pesan singkat masuk. Dengan santai kulihat layar ponsel, ada sebuah pesan. Kubuka pesan masuk dan kubaca.
“Hi Ara, I’ve made udang bakar bumbu Bali.
It’s delicious one, I swear!
Kamu pasti suka.”
Itu isi pesan singkat yang kuterima dari sebuah nomor ponsel yang dengan mudah ditebak siapa pengirim pesan itu.
Tak kuhiraukan pesan singkat itu walau jujur pesannya membuatku penasaran. Cepat kuhabiskan makan malamku kemudian sikat gigi dan cuci muka, sehingga aku dapat beralasan untuk segera tidur.
Baru saja aku selesai mengeringkan wajah dengan handuk ketika ponselku kembali bergetar. Segera kubuka pesan singkat itu.
“Hi, my name is Dylan Kazuki.
I’m 28 years old.
What's your name?”
Dengan senyum, kubalas pesan itu.
“My name is Adara Zalian.
I’m 22 years old.”
Terkirim.
Hanya berselang satu menit ponselku kembali bergetar.
“Saya bekerja sebagai tukang masak merangkap pencari dana untuk teman-teman saya gajian di warung kecil pinggir pantai. Kalau kamu?”
Kembali membuatku tersenyum lalu kubalas.
“Aku seorang pengangguran, mata kuliahku sudah habis dan sekarang harusnya mulai mengerjakan skripsi. Tapi aku malah terdampar di sini.”
Pesan terkirim.
Kembali kudapat balasannya.
“Beruntunglah saya bisa menemukanmu terdampar di Bali.
Hmm.. kapan saya bisa kembali beruntung?”
Bukan saja gaya bahasanya yang kaku dan berkesan formil, tapi membaca pesan singkat dari Dylan membuatku tersenyum, ada rasa bahagia yang menyelinap relung hatiku.
“Malam ini, aku udah sikat gigi dan cuci muka.
Soo, good night and see you..”

Akhirnya kuhentikan aksi saling mengirim pesan singkat itu. Entah mengapa, tapi berbalas pesan singkat dengan Dylan membuat hatiku resah. Bukan aku tak mau mengenalnya lebih dekat atau membuka hati untuk lelaki lain, hanya saja aku masih takut untuk kembali terluka. Aku masih belum memercayai cinta. Cinta yang membuatku terluka.
Aku tidak menolak Dylan, karena pesan terakhirku malam itu sedikit memberikan harapan untuk kembali bertemu. Entah kapan.

...
Pagi itu aku tidak berniat berjalan-jalan. Setelah membantu Tante Bulan menyiapkan sarapan, kamipun makan bersama sebelum Om, Tante serta kedua anaknya pergi melakukan aktifitas mereka.
Aku kembali tiduran setelah makan. Baru sebentar, Tuniang sudah menghampiri kamarku. Tanpa mengetuk, Tuniang masuk dan membangunkanku yang sejak mendengar suara Tuniang memanggil dari jauh aku langsung pura-pura tidur.
“Bangun Araaa.. Udah siang kok masih aja tidur kamu ini! Tuniang bawain buah ini, ayo bangun!”
Dengan malas dan pura-pura menguap, kubalikkan badan menghadap Tuniang. Kupaksakan senyum padanya.
“Aduh kamu ini kok jam segini masih tidur? Sudah makan?”
Mengangguk saja kurasa sudah menjawab pertanyaan Tuniang. Tapi nampaknya Tuniang masih juga belum puas dengan omelannya. Beliau kembali menyerangku dengan pertanyan-pertanyaannya. Beliau akan berhenti bertanya ketika keinginannya sudah terpenuhi, yaitu aku segera bangun dan mandi.
“Baiklah Tuniang, Ara mandi nih..”
Tuniang tersenyum puas melihatku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi dengan menenteng handuk di tangan kananku dan peralatan mandi dalam tas kecil di tangan kiriku.

Tempat tidurku sudah rapih ketika aku kembali, Tuniang yang merapihkannya. Beliau memang cerewet, tapi Beliau melakukan itu karena sangat menyayangi kami semua. Seharusnya, seseorang seperti Beliau dengan gelar Ratu Pedande sudah tidak mengurusi persoalan dunia. Tapi perhatian dan rasa khawatir Beliau terhadap anak-anak dan cucu-cucunya begitu besar, sehingga disela-sela kesibukan Beliau dengan berbagai upacara keagamaan, Beliau selalu menyempatkan diri untuk keluarganya.

Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang