Bandara Husein Sastranegara pukul 09.30 WIB.
Alhamdulillah kami tiba di Bandung dengan selamat. Dylan menggenggam jemariku, menuntunku menuju pelataran luar bandara dan menghampiri sebuah taksi yang memang biasa mangkal di bandara.
"Mau kemana kita?" Dylan bertanya padaku sebelum mengatakan tempat tujuan kami pada sopir taksi.
Aku menyebutkan salah satu rumah sakit swasta di kawasan yang terkenal dengan factory outlet-nya. Kami kembali duduk berdampingan di belakang pak sopir. Sepanjang perjalanan kami mulai canggung dan kembali lebih banyak terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing dan tatapan seakan menikmati pemandangan dari luar jendela.Aku tak tahu apa yang dipikirkan Dylan, yang aku tahu bahwa sebentar lagi aku akan berpisah dengannya dan mungkin jika suatu saat kami bertemu kembali, keadaan tak lagi sama seperti hari-hari kemarin. Keheningan kami berakhir ketika Pak sopir bertanya apakah kami mau ditunggu atau tidak dan Pak sopir mengangguk tanda mengerti setelah Dylan mengatakan tidak.
Kami berjalan perlahan menuju pusat informasi untuk mengetahui ruang perawatan Donny. sesampainya di depan pintu ruangan, tiba-tiba Dylan menggenggam tanganku membuatku sedikit tersadar akan kenyataan yang harus kuhadapi. Kulirik wajahnya, dia tersenyum lemah dan berkata "Saya pamit sekarang. Masuklah, di dalam ada pasien yang sedang menunggumu. Sampaikan salamku, semoga lekas sembuh." Dylan melepas genggamannya seraya menganggukkan kepala tanda perpisahan. Tanpa sadar aku bergumam mengucapkan terima kasih, tak terasa ada sesuatu menusuk di relung hati, sakit sekali.
Hembusan nafas panjang mengawali perjalananku pada Donny. Aku mulai mengetuk pintu kamar Donny setelah bayangan Dylan tak kutemukan lagi saat dia berbelok di ujung lorong itu. Mama Donny membukakan pintu dengan lemas.
"Masuklah Ara, Donny baru saja tidur setelah melakukan kemo.." sapa Tante Iva
Aku hanya menganggukan kepala dan mengikuti langkah Tante Iva dengan lemas. Apa yang terjadi hari ini benar-benar membuatku lelah, semua menyakitkan. Melepaskan Dylan dan mengetahui keadaan Donny yang sebenarnya, membuatku merasa menjadi wanita paling bersalah saat ini.
Kulihat Donny terbaring. Selang infus menggantung di tangan kirinya, rambut indahnya ditutupi kupluk, apakah rambutnya mulai rontok? Pikirku dan langsung kutepis. Ternyata Tante Iva menyadari apa yang baru saja kupikirkan, beliau mengatakan bahwa rambut Donny mulai rontok sejak melakukan chemotherapy.
Aku pamit keluar untuk mengabari Mama bahwa aku sudah di Bandung. Mendengar suara Mama, membuatku ingin segera pulang ke rumah dan menumpahkan segala sesak dalam pelukan Mama. Semua rasa ini, sakit ini, galau ini sungguh menyesakkan. Aku kangen Mama.Empat Belas..
Donny membuka matanya dan tersenyum lemah padaku, rupanya dia mengetahui kehadiranku.
"Kamu disini Ian.." Donny menyapaku.
"Iya. Kamu.." Tak kuasa aku melanjutkannya, pipiku sudah basah karena air mataku tak terbendung lagi.
Tangan Donny mulai bergerak, terlihat selang infus mengikut gerakan tangannya mendekati wajahku. Aku semakin tertunduk, tangisku semakin menjadi, hatiku sakit melihat keadaannya. Kubiarkan tangannya menyentuh pipiku, kurasakan penderitaannya, kurasakan kerinduannya, dan itu membuat hatiku semakin sakit.
Lama kami tenggelam dengan perasaan sakit masing-masing, hingga kudengar isak tangis Donny. Aku tersadar, bahwa aku harus kuat. Apapun yang terjadi, terjadilah, meskipun itu adalah hal yang terburuk sekalipun. Tapi saat ini, selama waktu masih menjadi milik kami, takkan kubiarkan rasa sakit dan sedih menghantui kami. Takkan kubiarkan!
Kugenggam lembut jemari Donny, kuarahkan pada wajahnya.
"Hapus dulu air mata kamu, baru aku, dasar bodoh!" sambil kuseka air mataku sendiri.
Donny tersenyum dipaksakan, kulihat matanya menyimpan rindu yang teramat, mungkin dia jauh lebih menderita daripada aku selama ini, dengan segala kebohongannya.
"Kamu.. kangen aku ya?" Kucandai Donny.
"Sangat. Sakit tau! Lebih sakit daripada kemo sialan ini!" Donny berusaha menjelaskan dengan sedikit bercanda. Sementara aku tahu itu bukan candaan.
"Kemo sialan ini, aku yakin kamu bisa mengalahkannya. Rasa kangen aja bisa kamu tahan kan?"
"Pasti dia kalah! Dia belum tau lagi berhadapan sama siapa, ya kan?"
Kuangkat kedua ibu jariku untuk memberikan two thumbs up pada Donny sebagai tanda setuju.
"Eh Tante Iva kemana, tadi kan ada disini ya?" Tanyaku.
"Malu kali lihat kita tadi nangis berduaan." Jawab Donny, dan kami berdua tertawa bersama.
Akhirnya kami bercerita tentang masa lalu, awal pertemuan kami hingga akhirnya Donny mengetahui sakitnya dan memutuskan untuk menjauhiku dengan caranya. Baru aku tahu, bahwa Marcella adalah sepupu Donny yang baru saja pindah dari Bogor. Selama ini, aku memang hanya mengenal keluarga inti Donny saja, Tante Iva (Mama Donny), Om Burhan (Papa Donny), Kinara (Adik perempuan Donny), dan Althaf (Adik laki-laki Donny). Donny memang jarang menceritakan keluarga besarnya, dia agak tertutup soal keluarganya, dia lebih senang menceritakan tentang dunia basketnya dan tentang kami.
"Kamu tahu, ngebohongin kamu itu jauh lebih susah loh dibandingin ngebohongin Mama. Lihat kamu kaget waktu Marcella senderan di bahu aku itu, bikin sakit hati. Dengar cerita kalau kamu nangis dan benci aku, lebih bikin sakit hati. Lihat kamu nutupin pintu rumah karena gak mau ketemu aku, bikin aku gila. Tahu kamu kabur ke Bali dan gak pernah mau balas pesan aku, bikin aku tambah gila. Kalau hari ini kamu gak ada disini, mungkin.."
"Ssstttt jangan ngomong yang aneh-aneh, aku gak suka! Kenyataannya aku ada disini sama kamu." kuputus kalimatnya, tak ingin aku mendengar kata-kata selanjutnya. Donny tersenyum. Terlihat wajahnya sedikit pucat, pipinya sedikit tirus, matanya sedikit cekung, dan aku semakin yakin bahwa dia tidak baik-baik saja....
Siang itu kuhabiskan menemani Donny di kamarnya. Kusuapi makannya, meski awalnya dia menolak, malu katanya. Aku hanya pamit sebentar untuk sholat Duhur di Mushola rumah sakit, tidak sebentar sebenarnya, aku menangis dulu sama Allah. Kuminta apapun yang terbaik untuk Donny, kuminta apapun yang terbaik untuk keluarganya, kuminta apapun yang terbiak untukku. Aku kangen Mama, ingin segera pulang dan memeluknya.
Setelah Papanya Donny sampai ke rumah sakit, sekitar jam 14.30, aku segera berpamitan untuk pulang. Badanku lengket karena belum sempat mandi. Donny mengijinkanku pulang setelah aku berjanji akan menemaninya setiap pagi sampai siang.
Tante Iva mengantarku sampai ke lobby rumah sakit. Beliau mengucapkan terima kasih dan juga meminta maaf padaku dalam waktu bersamaan. Aku hanya mampu tersenyum lalu berpamitan. Bingung, sedih, marah, rindu, semua menjadi satu dalam hati dan pikiranku, sehingga tak mampu membalas dengan kata-kata. Air mukanya nampak lelah, sedih, kecewa, dan pasrah menjadi satu. Seingatku, terakhir sebelum Donny menjauhiku, aku sempat bertemu Tante Iva dan makan siang bersama adik-adik Donny. Beliau tampak cantik dengan kemeja panjang putih, celana jeans biru, dan kerudung pink muda. Wajahnya segar dengan make up sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You
RomanceWanita itu berhasil membuat Dewa menjatuhkanku dengan tendangan kaki kirinya, bahkan tanpa pertahanan sedikitpun. Duduk termenung di tepi pantai, sambil memeluk kedua kaki yang tertekuk mampu membuat konsentrasi saat latihan komite dengan Dewa menja...