Semua anak sama.
Sama-sama terlahir dari rahim ibunya.
Tak ada alasan untuk membedakan.
Karna melahirkannya, sama-sama membutuhkan perjuangan..
.
.Setelah kejadian pingsan dadakannya, Jeje di larang oleh mamah dan bundanya untuk tinggal di apartement sampai beberapa waktu.
Sudah hampir 2 jam ia mendengarkan omelan mamahnya yang tak kunjung selesai. Jeje memutar bola matanya bosan, lalu berdecak dan sedikit memajukan bibirnya.
"Kalo orang tua ngomong itu di dengerin!"
"Ya terus ini kaka dari tadi ngapain mah?"
"Kalo di bilangin tuh jangan ngejawab!"
Jeje mendengus, salah lagi salah lagi pikirnya. Jeje kembali mendapatkan omelan dan kritikan pedas karna kejadian yang berlangsung beberapa detik tadi. Jujur saja jika tidak takut di cap sebagai anak durhaka, Jeje ingin sekali menyumpal mulut mamahnya yang tak kunjung berhenti mengomel. Telinga Jeje sampai panas karna berjam-jam di suguhi siraman rohani dadakan dari sang mamah.
"Mamah tuh sayang sama kamu, khawatir kalo ngeliat kamu sakit. Apalagi di apartement itu kamu cuma tinggal sendiri. Kalo hal kaya gini terjadi lagi, gimana? Masih untung tadi ada Rey yang kebetulan mau main ke kamu. Gimana kalo kedepannya gak ada orang yang nolongin kamu? Mau pingsan sendiri terus bangun sendiri? Gitu?"
Terdengar nada kekhawatiran yang di tunjukan sang mamah. Menatap sendu ke arah Jeje lalu mengusap surai hitam putri keduanya dengan penuh sayang .
"Mamah mutusin buat tinggal di Indo itu karna pengen kumpul sama kalian, mamah pengen ngurusin kalian. Besok kaka kamu pulang. Mamah pengen kita kumpul, meski tanpa papah yang jauh di Jepang sana."
Jeje menatap kedua mata mamahnya yang mulai berkaca-kaca. Jadi ini alasan kenapa mamahnya terus mengomel dan menyuruhnya untuk tak lagi tinggal di apartement. Kenapa tidak mengatakannya dari awal? Andai saja mamahnya mengatakan semuanya dari dulu, Jeje pasti membatalkan rencananya untuk tinggal di apartement. Secerewet apapun mamahnya, dia adalah sesosok wanita yang paling menyayanginya.
Jeje merentangkan tangannya dan memeluk mamahnya erat.
"Maaf mah."
Hening. Tak ada yang bersuara. Tangan sang mamah masih terus mengusap sayang rambut Jeje. Orang yang berada di sana pun satu persatu berangsur keluar, memberikan waktu kepada anak dan ibu yang tengah saling menyalurkan kasih sayang.
Jeje melepaskan pelukannya, lalu menatap sendu ke arah mamahnya yang tengah tersenyum lembut ke arahnya.
"Maafin Jeje yang selama ini masih sering ngelawan ke mamah, Jeje yang masih belum ngerti maksud baik mamah. Maafin Jeje yang masih sering bandel dan nganggep kalo mamah lebih sayang Riski daripada Jeje. Maafin Jeje mah."
Wanita cantik yang sudah hampir menginjak kepala 4 itu pun tersenyum lembut. Tatapan sayang tak pernah lepas dari pandangannya.
"Mamah mungkin emang terkesan galak sama kamu. Tapi mamah sayang banget sama kamu kak, sayang juga sama Riski, sayang juga sama kak Reva. Kalian semuanya putra-putri mamah. Mamah ngandung kalian selama 9 bulan penuh. Mamah ngelahirin kalian dengan taruhan nyawa. Apa ada alasan buat mamah untuk lebih sayang sama salah satu di antara kalian? Enggak ada sayang, kalian sama."
Jeje kembali memeluk mamahnya dan menangis. Ia benar-benar merasa durhaka karna berpikir mamahnya lebih menyayangi adiknya, padahal tanpa ia sadari mamahnya pun sama sangat menyayanginya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Pejuang LDR
RomanceAda saatnya semuanya harus berakhir. Saat takdir tak lagi menentukan kebersamaan, perpisahan adalah jalan mengecewakan yang harus di ambil. Saat sebuah kebohongan menghancurkan kepercayaan, dan keegoisan pula menghancurkan sejuta harapan. Saat tub...