Chapter4

716 54 8
                                    

"Sebuah kebohongan, meski di tutupi dengan sejuta hal manis pun akan tetap menjadi sebuah kebohongan."

.
.
.

Hari minggu.
Adalah hari dimana sebagian orang memilih menghabiskan waktu luangnya untuk bersantai dan bermalas-malasan, namun berbeda hal dengan Jeje yang harus menghabiskan hari liburnya untuk mengerjakan tugas segudang yang di berikan Dosennya.

Dengan segala sumpah serampah, Jeje terus mengerjakan tugasnya sambil berharap sebelum tengah hari ia dapat menyelesaikannya. Hari ini ia memiliki janji dengan Dila dan ia tak ingin terlambat karna mengerjakan tugas yang benar-benar sangat banyak itu.

"Dasar si botak sialan! Arrghh.. Ini masih banyak banget, gila."

Jeje mengacak-acak rambutnya dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi belajar yang ia duduki. Matanya sekilas melirik jam yang bertengger di dinding apartementnya dan seketika ia mendengus kesal. Jam telah menunjukan pukul 10.00, tersisa beberapa jam lagi untuk ia dapat menyelesaikan tugasnya yang bahkan belum sampai seperempatnya ia kerjakan.

"Mampus aja! Kalo telat gue kena amuk Dila, kalo gak selesai kena amuk si botak. Mau mati aja rasanya."

Dengan sedikit malas Jeje mulai kembali mengerjakan tugasnya dengan serius, sampai tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan satu pesan singkat masuk.

Awalnya Jeje hanya mengabaikannya, namun akhirnya ia memutuskan sejenak meninggalkan aktifitasnya dan melihat siapa yang mengiriminya pesan singkat.

From : My Dil:*
Sayang maaf hari ini aku gak bisa pergi sama kamu. Aku ada kerja kelompok sampe sore, tadi temen aku baru ngehubungin aku. Maafin aku ya kalo misalnya aku sampe sore gak ada kabar. Love you:* awas jan bandel kamu_- :*

Jeje menghebuskan nafasnya lega, setidaknya hari ini ia dapat mengerjakan tugasnya dengan sedikit santai.

Setelah membalas pesan singkat Dila, Jeje kembali berkutat dengan tugasnya tanpa memperdulikan teriakan-teriakan cacing di perutnya yang tengah berdemo meminta makan.

~O~

Hari ini Dila terlihat sangat rapih dan wangi. Meila yang melihat sahabatnya pun memutuskan untuk bertanya. Pasalnya ini hari minggu dan mereka tidak memiliki jadwal apapun.

"Mau kemana lo? rapih banget?"

Dila yang hendak berjalan melewati Meila pun seketika berhenti dan tersenyum ke arah Meila.

"Mau keluar. Lo mau nitip sesuatu?"

Meila menggeleng pelan.

"Sama Jeje?"

Kini gilaran Dila yang menggeleng.

Mendapat jawaban dari sahabatnya, Meila terlihat menghembuskan nafasnya berat lalu menatap sendu ke arah Dila.

"Gue mau ngomong sama lo."

Sejenak Dila terdiam lalu melirik sekilas jam tangannya, melihat ke arah Meila dan lalu menghampirinya.

"Kenapa?"

Tiba-tiba Meila mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan layar ponselnya pada Dila. Seketika Dila tersentak setelah melihat apa yang Meila tunjukan kepadanya, Dila menggigit bibir bawahnya dan menatap gelisah ke arah Meila.

"Bisa lo jelasin?"

Dila semakin di buat tak karuan dengan ucapan Meila yang terus mencoba menekannya. Dengan sekali hembusan nafas berat akhirnya Dila menceritakan semuanya kepada Meila, menjelaskan tentang apa yang Meila tadi tunjukan kepadanya.

Setelah selesai, dengan ragu Dila melirik sekilas ke arah Meila yang hanya terdiam dan menatap sendu ke arahnya. Hal ini membuat Dila kembali menggigit bibirnya, ia takut akan respon Meila.

"Mei lo marah ya?"

Dengan susah payah Dila membuka suara dan mencoba menatap Meila yang juga menatapnya. Jantungnya berdegup kencang, ia semakin gelisah karna Meila tak kunjung mengeluarkan suara.

"Dengan alasan apa lo ngelakuin ini?"

Dila hanya terdiam dan meneguk salivanya kasar. Akhirnya Dila menceritakan semua alasannya yang membuat Meila menghebuskan nafasnya berat.

~O~

Tepat pukul 19.40 Jeje akhirnya dapat menyelesaikan tugasnya. Merentangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku akibat terlalu lama duduk.

"Akhirnya selesai juga."

Jeje mulai menutup bukunya dan membereskan meja belajarnya yang berantakan. Sekilas mengelus perutnya yang terasa sakit akibat tak sempat ia isi.

"Mantep banget ya sakitnya kalo magh kumat."

Jeje sedikit menekat bagian perutnya yang terasa sakit, lalu berjalan ke sisi lemari dan mencari stok obat yang ia simpan. Menyobek satu lalu memasukannya ke dalam mulut dan mengunyahnya.

'Drrtt.. Drtt..'

Sekilas Jeje melirik layar handphonenya yang menyala dan menampilkan panggilan suara dari mamahnya.

"Hallo."

"Lagi dimana kak?"

'Kalo udah manggil dengan embel-embel kaka pasti ada sesuatu,' batin Jeje.

"Di apartemen, kenapa mah?"

Jeje mulai berjalan pelan dengan satu tangan yang masih menekan bagian perut yang terasa sakit. Kembali mendudukan tubuhnya di kursi yang berjam-jam lalu sempat ia tempati.

"Bisa pulang?"

Jeje mengernyitkan keningnya. Ia rasa ada sesuatu yang tengah terjadi.

"Ada apa sih mah?"

"Orang tua nyuruh pulang kok di tanya ada apa? Dasar Toyib! Doyan banget di luaran, gak pulang-pulang!"

Jeje memutar matanya bosan.

"Iya iya Jeje pulang, yaudah Jeje tutup telponnya ya mah. Assalamualaikum."

Jeje langsung menutup telponnya, tidak peduli dengan mamahnya yang pasti mengomel karna sambungan telpon yang ia putuskan sepihak.
Jeje terus menekan perutnya yang tak kunjung membaik. Kepalanya mulai terasa pusing, keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya. Sedikit meringis, lalu mengatur nafasnya yang terasa mulai memburu karna menahan sakit.

Kepalanya semakim terasa pening. Pandangan mata Jeje pun mulai mengabur, ia berpegangan pada ujung meja untuk menahan berat badannya. Semakin lama pandangannya semakin tidak jelas dan Jeje pun jatuh tersungkur. Di sisa kesadarannya, samar-samar Jeje mendengar seseorang memasuki apartementnya, lalu kemudian semuanya gelap.

Satu vote dan comen dari kalian bisa jadi motivasi besar buat author untuk ngelanjutin ini cerita. So jangan lupa vomennya, pay:*

Akhir Pejuang LDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang