"Jika seseorang berbohong. Maka di hari berikutnya orang itu akan kembali berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya."
.
.
.Hari ini Jeje dan Dila memutuskan untuk makan malam bersama di salah satu caffe di pinggiran kota Bandung. Jam 7 tepat Jeje telah sampai di apartement milik Meila untuk menjemput Dila, dan tak berselang lama mereka pun langsung bergegas pergi karna hari pun terlihat semakin larut.
Jeje melajukan motor sport nya dengan kecepatan sedang. Sejenak Jeje melihat Dila dari kaca spion, memperhatikan Dila yang terus-terusan terfokus pada layar ponselnya hingga membuat Jeje sedikit mendengus.
"Uhuk.. Kok dingin ya."
Ucap Jeje di tengah keheningan karna Dila terus sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Hilih, bilang aja pengen di peluk. Pake kode-kodean segala."
"Seharusnya peka dikit gitu."
"Iya iya, bawel deh!"
Dila mulai memasukan ponselnya ke dalam tas yang ia bawa. Tangannya mulai memeluk Jeje dan menyandarkan kepalanya di bahu Jeje. Sejenak Jeje mengelus pelan tangan Dila yang bertengger di perutnya.
Senyum mengembang di bibir Jeje.
Bahagia, itulah yang saat ini Jeje rasakan.30 menit berlalu, akhirnya mereka sampai di caffe yang mereka tuju. Caffe sederhana namun terlihat elegan dengan gerlap-gerlip pemandangan kota di bawahnya.
Caffe ini terletak sedikit di atas, dengan dinding transparan membuat pelanggan dapat menikmati indahnya pemandangan kota sambil menikmati makan malam.Jeje menautkan jarinya di jari Dila, menuntun Dila untuk masuk ke dalam caffe. Memilih kursi di pojok ruangan yang berdekatan dengan dinding kaca transparan, sehingga membuat keduanya mampu menikmati pemandangan kota tanpa halangan.
Selain interiornya yang menarik, pelayanan di caffe ini pun cukup baik.
"Sayang."
Panggil Jeje saat melihat Dila terus terfokus pada layar ponselnya.
Sejenak Dila melirik ke arah Jeje lalu memasukan ponsel itu ke dalam tas slempangnya."Lagi chat sama siapa sih?"
"Itu temen aku, si Rista. Dia lagi sakit, terus besok minta tolong aku buat anter dia ke dokter."
Sejenak Jeje terdiam dan tersenyum ramah ke arah pelayan yang tengah menata makanan yang mereka pesan, tak lupa mrengucapkan terimakasih sebelum pelayan itu pergi.
"Mau aku anter?"
Jeje menawarkan diri untuk mengantar Dila. Ia bisa menggunakan mobil milik Mamahnya agar mereka tidak perlu menggunakan taksi.
"Gak usah yang, gak enak aku sama Rista."
Jeje mengangguk paham lalu mulai memakan makanannya. Hening, mereka terfokus pada makanan masing-masing sampai akhirnya ponsel Dila berbunyi, membuat Jeje menghentikan aktifitasnya dan menatap Dila heran. Pasalnya Dila seperti gelisah dan tidak mengangkat telponnya dan malah memilih mematikannya berkali-kali.
"Kok gak di angkat?"
Tanya Jeje mulai penasaran. Tidak biasanya Dila bertingkah seperti itu. Pasti ada sesuatu yang Dila sembunyikan darinya. Bukan tidak percaya, tapi akhir-akhir ini sikap Dila sedikit berubah, dan Jeje merasakannya.
"Salah sambung mungkin, nomor baru soalnya. Males angkat."
"Siapa tau penting. Sini aku yang angkat! Tuh bunyi lagi."
Jeje menyodorkan tangannya untuk meminta ponsel Dila, namun Dila malah diam dan terlihat semakin gelisah. Jeje menautkan alisnya, sepertinya memang ada yang tidak beres.
"Aku ke kamar mandi dulu ya."
Hanya menghela nafas, itu yang saat ini Jeje lakukan. Menyandarkan tubuhnya pada senderan kursi, selera makannya tiba-tiba menghilang.
Pikiran-pikiran negatif tentang Dila terus berputar di otaknya. Sebenarnya apa yang tengah Dila sembunyikan darinya? Sudah setahun lebih mereka bersama, namun kini Jeje seakan tak mengenal Dilanya. Ada apa sebenarnya? Rasanya Jeje ingin bertanya, namun apa yang harus Jeje tanyakan? Tentang perubahan Dila? Jeje takut itu hanya perasaannya saja. Jeje hanya tak ingin mencari pertengkaran. Tapi dengan hanya diam dan memendam Jeje benar-benar tersiksa.
~O~
Rey memeluk pinggang Meila, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Meila dengan sesekali menghadiahinya kecupan-kecupan ringan.
"Mei, sebenernya apa yang kalian sembunyiin?"
Meila tak menjawab. Ia mulai bergelut dengan pikirannya sendiri. Meila tahu ini adalah sebuah kesalahan, kesalahan fatal yang telah di lakukan sahabatnya. Jujur saat mengetahui semuanya Meila pun kecewa, namun apa hak nya? Itu adalah pilihan sahabatnya.
"Mei, semakin kamu diem, semakin kamu bikin aku penasaran. Aku tau ada yang gak beres akhir-akhir ini."
Rey mendongak kemudian mensejajarkan wajahnya dengan wajah Meila, menatap mata jernih itu dengan teliti. Terpampang jelas kegelisahan yang tengah coba Meila sembunyikan.
"Aku gak ada hak apapun tentang hal ini Rey."
"Tapi kamu tau segalanya. Dia sahabat kamu, tapi Jeje juga sahabat aku, Mei."
Meila menghembuskan nafasnya kasar. Balas menatap manik hitam Rey yang sedari tadi terus menatapnya. Tangan Meila terangkat untuk mengelus pipi Rey lalu menangkup wajah kekasihnya tersebut.
"Aku tau kegelisahan kamu, kamu takut Jeje yang bakal balik hancur kaya dulu lagi. Tapi maaf sekali lagi Rey, aku gak ada hak apapun atas hal ini. Biarin Dila yang bilang ke Jeje, atau Jeje yang bakal tau sendiri."
~O~
Dila mencuci wajahnya sedikit kasar, mencoba untuk menghilangkan kegugupan yang kini tengah ia rasakan.
Pandangannya beralih pada ponselnya yang kembali berdering.
Saat hendak menggeser layar ponselnya, matanya menangkap siluet seseorang yang membuat dirinya mematung.
Seseorang itu terus berjalan dan kini telah berada di samping Dila dengan senyum miring tercetak di bibirnya.
Menyodorkan amplop putih yang entah berisi apa."Apaan?"
"Buat lo."
Dila menerima amplop itu dan seketika langsung membeku saat mengetahui isi di dalam amplop tersebut.
"Gue bisa aja ngasih itu ke dia sekarang, tapi sayangnya gue gak mau."
"Lo ngancem gue?"
Orang itu tertawa sinis lalu menatap tajam ke arah Dila yang juga menatapnya tajam.
"Haha.. Gue gak ngancem lo. Gue cuma mau nagih janji lo!"
"Persetan dengan janji yang pernah gue ucapin! Enyah dari hidup gue, sialan!"
Wajah Dila memerah karna menahan amarah, nafasnya memburu, dan tatapan tajam terus ia berikan kepada orang yang tengah berada di hadapannya tersebut.
"Gue nyesel dulu pernah percaya sama janji busuk lo. Lo tau? Lo gak lebih dari seorang jalang!"
'Plaakk'
Dila melayangkan sebuah tamparan kepada orang di depannya tersebut. Orang tersebut hanya tersenyum meremehkan sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan yang Dila berikan.
"Jadi ini sifat asli lo? Lu pura-pura baik dan polos? Dasar uler!" ucap Dila dengan penuh amarah.
"Terus lo sebut apa diri lo itu? Ratu uler? Ngaca! Yang pura-pura baik itu siapa? Yang pura-pura polos itu siapa? Elo! Sebentar lagi waktu bakal nunjukin kebenaran atas kebusukan lo selama ini. Gue gak akan susah payah buat ngasih tau dia, tapi gue yakin dia gak sebodoh yang lo kira."
Orang itu mulai pergi meninggalkan Dila yang kini menunduk sambil menangis. Dila menyesal dengan semuanya yang kini telah terjadi, tapi dia tidak bisa memutar waktu dan kini Dila telah terjebak terlalu dalam.
Detik-detik menuju konflik:)
Sampai bertemu di chap selanjutnya:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Pejuang LDR
RomanceAda saatnya semuanya harus berakhir. Saat takdir tak lagi menentukan kebersamaan, perpisahan adalah jalan mengecewakan yang harus di ambil. Saat sebuah kebohongan menghancurkan kepercayaan, dan keegoisan pula menghancurkan sejuta harapan. Saat tub...