Hari pertamaku bersekolah di kota kecil ini, ramai tidak terlalu tapi juga tidak sesepi dugaanku. Aktifitas pagi yang sering ku jumpai di kota asalku ternyata disini juga ada. pengantar koran, penjual roti keliling, pengantar susu dan pesanan, beberapa anak SD yang pergi bersekolah dengan wajah polos serta riang mereka juga ada. Yang membedakan adalah udaranya.
Udara disini sangat sejuk, bahkan disibuknya pagi hari burung masih bernyanyi, bertengger di sebuah cabang dan mulai menyanyikan alunan yang indah saling bersahutan.
Di perempatan jalan aku melihat plat besi bertuliskan "THE BURSA" arahnya lurus, sepertinya sekarang aku menuju kesana, mungkin." ayah."
" iya, ada apa? Apa kau gugup? " tanya ayahku.
" hmm sedikit, apa kita menuju the bursa? " tanyaku sambil sedikit mencondongkan tubuh kedepan.
" ah.. Pengamatan yang bagus sayang, iya itu nama sekolahmu. " jelas ayahku.
" begitu... Ah ayah apa nama kota ini ? Aku lupa menanyakannya kepada ayah." tanyaku dengan nada sedikit riang, dalam kata lain tidak sabar atau lebih tepatnya penasaran.
" hahaha... Putri ayah mulai bertanya ya? "
" ayah.. "
" nama kota ini adalah Yoldia atau orang-orang menyebutnya sebagai The Small Yoldia city. "
" The Small...? " ucapku sedikit terkejut.
Cukup mengherankan ada kota yang di beri julukan The Small, meski begitu itu nama yang indah dan terdengar manis. Julukan itu pantas karena kota ini benar-benar kecil.
Dari perempatan jalan, ayahku terus berjalan lurus.. Mungkin sekitar 50 meter jauhnya setelah itu ada tikungan kekanan tidak sampai 5 meter akan terlihat gerbang berwarna hitam tinggi, ada sebuah pos kecil di sudutnya. Mewah yah.. Itu kesan pertamaku saat melihatnya." nah kita sudah sampai kamu mau turun disini apa ayah antar kedalam.?"
Sebenarnya aku malu kalau harus diantar ayahku ke dalam, tapi lebih malu lagi kalau aku berjalan sendiri tanpa mengenal siapapun dengan pedenya.
" aku diantar ayah saja." jawabku malu.
" baiklah kita masuk, ayah juga ingin bicara dengan kepala sekolah. "
" tentang apa? "
" rahasia. " senyum jahil mengembang di sudut bibir ayahku. Mengetahui aku sedang memajukan bibirku ayahku semakin terbahak-bahak.
Lapangan untuk parkir mobil cukup luas, ada dua pohon yang menjadi pembatasnya, rindang dan sejuk suasana itu sejauh ini yang dapat ku gambarkan. Di depan parkir mobil ada sebuah lorong tidak terlalu besar membentuk huruf U terbalik seperti jembatan berwarna merah. Setelah melewatinya akan ada lapangan besar berpaping, ada tiang bendera di sisi kanan lapangan. Aku langsung tau itu lapangan upacara.
Disekeliling lapangan ada taman kecil dengan kursi putih sebagai pelengkapnya, ada 4 sampai 5 kursi terpasang. Dibelakang taman berdiri bangunan berlantai dua berwarna oren dan juga putih. Disetiap gedung ada 6 kelas, 3 kelas di bawah dan 3 kelas diatas. Disisi kiri lapangan menunjukkan kelas satu A sampai F. Disisi lain ada kelas dua sama dengan kelas satu, begitu juga dengan kelas tiga.
Di sisi lain bangunan kelas ada bagunan utama yang menghadap langsung ke arah lapangan. Warna bagunan itu sedikit berbeda berwarna merah dan sangat mencolok tapi pas dengan warna hijau dedaunan yang ada di depannya. Itu adalah gedung utama disini atau lebih sering disebut sebagai aula, gedung itu juga di jadikan ruang kepala sekolah.
Ayah mengajakku untuk pergi ke ruang kepala sekolah, mendaftar ulang sebelum masuk kelas." selamat pagi. " salam ayahku.
" ah... Pak. Richad Smith rupannya, selamat pagi pak, mari silahkan duduk. "
Lelaki paruh baya itu bersikap ramah kepada ayahku seperti sudah kenal lama. Ayah tanpa ragu duduk di sofa merah didepan kepala sekolah. Jika dibilang penampilannya tidak seperti kepala sekolah pada umumnya. Beliau memakai setelan jas hitam tanpa dasi, juga tampilan rambut bob pendeknya yang terlihat sangat tidak pantas sebagai kepala sekolah.
" cris.. Ini anakku. " ayah memperkenalkanku kepada Pak Cris.
" wah dia sudah besar rupannya. "
Sudah besar apa dulu ayah dan Pak Cris adalah teman. Aku hanya tersenyum ramah padanya.
" sayang pak cris ini adalah teman ayah yang sangat baik, dulu kami satu universitas dan juga satu rumah kos. "
Sudah ku duga, mereka lebih dari sekedar wali murid dan kepala sekolah.
" iya.. Tapi ayahmu lebih sukses dibanding diriku. " sambung Pak Cris.
" ahh... Kamu bisa saja cris, ini semua juga kerana dirimu. "" yah.. Ayahmu memang pandai, sekarang jadi ilmuan ternama. "
" sudah cukup hentikan, jangan membuatku malu. " ucap ayahku dengan pipi memerah.
Kalau boleh jujur, aku ingin segera pergi dari tempat ini. Apa yang mereka bicarakan aku tidak mengerti dan sama sekali tidak ingin mengerti. Orang dewasa memang selalu begitu membicarakan hal yang rumit dan sukar untuk dipahami.
" baiklah.. Anak mu sudah bisa sekolah pagi ini, apa kau sudah siap putri kecil? "
" ah.. Yah."
Putri kecil, mendengarnya saja sudah menggelikan ahh apa boleh buat. Ayah yang melihat ketidak nyamananku langsung menimpali perkataan teman karibnya itu.
" aku lupa memperkenalkan nama putriku.. Yah namanya Shendiela Smit. "
" o.. ya ya ya baiklah shendiela bu guru Juwinitha akan mengantarmu kekelas. "
Setelah berkata seperti itu munculah bu guru cantik dari belakang kepala sekolah. Dia sangat rapi wajah tirus yang berpoles make-up tipis itu sangat cantik dan segar. Setelan baju burkat hitam selutut dengan hem putih formal menambah keanggunan dari bu guru cantik ini.
" hai shendiela, perkenalkan nama saya bu guru Juwinitha. "
" saya akan mengantarkan mu menuju kelas baru, ayo."
Aku hanya dapat mengangguk sebagai jawaban atas semua perkataannya.
Sepertinya bu Juwinitha kurang nyaman jika aku harus mengikutinya dari belakang." hmm sebaiknya aku memanggilmu siapa? " kata bu juwinitha memecah keheningan.
" ibu bisa panggil saya diela."
" kenapa berjalan di belakang ibu, sini kita sampingan. " ajaknya sedikit kaku kepadaku.
" hmm yah."
Kelasku berada paling ujung di lantai dua. Rasa gugup tiba-tiba menyerang sekujur tubuhku. aku sangat takut, aku takut jika pandangan yang mereka berikan nanti adalah pandangan menghakimi yang biasa dilakukan oleh beberapa orang disekolah lamaku dulu. Pandangan yang langsung membunuh tanpa senjata.
Bu Juwinitha memasuki kelas lebih dahulu. Dia akan memperkenalkanku kepada murid yang lainnya." selamat pagi semua. "
" hari ini kita kedatangan teman baru, dia berasal dari kota besar Magancho, ayo silahkan masuk. "
Aku memberanikan diri untuk masuk kedalam kelas. Keringat dingin sudah membasahi tubuhku. Aku sangat gugup, takut jika aku salah bicara.
Sekarang aku berdiri tepat didepan semua murid, menjadi pusat perhatian, pastinya." selamat pagi, perkenalkan namaku shendiela Smit, kalian semua bisa memanggilku diela." aku melihat respon mereka atas kehadiranku.
" aku pindah ke sini satu minggu yang lalu karena ada urusan pekerjaan ayahku, kota asalku Magancho. " sambungku dengan nada yang semakin gemetaran.
" baiklah diela silahkan duduk. " kata bu Juwinitha ramah.
Aku mengambil bangku duduk paling belakang dekat dengan jendela bertirai putih bersih. Jika dilihat dari posisiku sekarang papan tulis terlihat sedikit buram.
Aku mengambil kaca mata dari dalam tas. Kacamata bulat sempurna bertangkai warna emas. Bu Juwinitha ternyata wali kelas ku. Dan beliau mengajar mata pelajaran matematika. Kenapa orang secantik bu juwinitha harus mengajar mata pelajaran yang sungguh aku benci.

KAMU SEDANG MEMBACA
In the Dark and In the Light
Fantasy" aku Shendiela Smith lahir dari sepasang suami dan istri yang saling mencintai. mereka bilang aku adalah anak tunggal, tapi aku tidak yakin tentang hal itu. "