Bab VIII

6 1 0
                                    

    Jam ke tiga adalah pelajaran olahraga. Aku dan agli sudah ada di lapangan untuk pemanasan. Sejauh mata memandang tidak ada jashend, apa dia dihukum? Aku semakin kawatir.

" diela, cari siapa? "

" ahh kamu udah liat jashend? "

" belum.. kenapa? "

" aku takut dia dihukum."

" sudah tenang saja, sekarang kita pemanasan lagi yuk. "

" baiklah. "

    Tak lama setelah itu datang seorang pria, dia tinggi berbadan kekar, kulit putihnya sedikit gelap karena terlalu sering terpapar sinar matahari. Di belakangnya jashend membawa ranjang bola, cukup besar dan lumayan berat jika melihat ekspresi jashend saat ini.
    Semua murid membentuk barisan, merentangkan tanggang dan menggambil sikap istirahat. Jashend menggambil posisi di sampingku. Dia melihatku lalu tersenyum. Rasanya sangat lega jika tau dia tidak marah padaku.

" baiklah, kalian semua sudah pemanasan? "

   Semua murid menjawab serempak pertayaan pak guru.

" saya dengar kelas kalian kedatangan murid baru ya? " lanjut pak guru itu.

   Aku mengangkat tangan kanan.

" siapa namamu? "

" nama saya shendiela smit pak. "

" perkenalkan nama saya cristam mencrow, kamu bisa panggil saya pak cris. "

" baik pak cris. "

" bagus. "

   Setelah perkenalan, kami semua harus menggiring bola dari satu sisi lapangan kesisi yang lain. Aku akui aku memang payah dalam olahraga. Untuk melempar bola ke teman saja aku tidak begitu bisa, apalagi kalau harus menggiringnya, bukan hal yang aku sukai.
    Jashend terus menertawakan aku di samping lapangan. Dia terus saja mengejekku, aku semakin tegang jika harus mendengar perkataan jashend. Badebah yang merepotkan itulah jashend. Disisi lain agli terus menyemangatiku. Dari enam penggiring bola, aku adalah penggiring bola terahir yang sampai. Melihat itu jashend semakin berteriak tidak karuan. Jashend mendekat dengan tatapan jahil, sepertinya dia akan menggodaku habis-habisan kali ini.

" apa yang kau lakukan? " kata jashend dengan menahan tawa.

   Aku membuang muka dan sedikit memajukan bibir. Jashend terus tertawa tanpa henti.

" apa kamu tadi sedang mengajak jalan-jalan bolanya. "

" aku sedang menggiring bola. " jawabku ketus.

" hahaha kamu sebut itu tadi menggiring bola. " jashend lanjut tertawa.

" sudah.. Jashend jangan seperti itu. " sahut agli.

" tau nih, ketawain saja terus. "

" lagian giring bolanya lucu banget persis kayak anak kecil, malah lebih bagusan anak kecil dari pada kamu. "

" jashend. " agli meninggikan suaranya.

" hehh, sudah lah gli, kita pergi saja biarin nih bedebah satu ini ketawa, berdoa saja supaya ada keajaiban, biar dia nggak mati kaku karena ketawa. " aku pergi meninggalkan jashend.

    Bagaimana bisa pria yang membuatku susah tidur, berubah 180‘’ menjadi pria bedebah. Marah.. Tidak juga, hanya sedikit rasa kesal saja.
    Aku memutuskan untuk pergi menenangkan diri dari pria bedebah itu. Duduk di bawah pohon yang rindang dengan udara yang masih sejuk membuat ku merasa nyaman.
     Ditambah dengan burung-burung yang terbang kesana kemari membelah langit. Sebagian dari mereka bertengger di cabang pepohonan, bernyanyi merdu saling bersahutan.
    Agli pergi membelikanku makanan dan minuman ringan. Tenagaku cukup terkuras karena olahraga tadi ditambah meladeni si bedebah payah itu semakin memperburuk suasana hati, tapi ke asrian alam di sekolah ini sangat membantuku untuk melepas segala penat.
    Aku menutup mata, merasakan lembutnya angin membelai wajahku. Matahari bersinar cerah siang ini, bisa dikatakan panas, meskipun begitu matahari sangat bersahabat, sinarnya cukup hangat tanpa harus melukai kulitku.
     Terdengar helahan nafas panjang berhasil lolos dari mulut seseorang yang duduk dekat denganku. Aku membuka mata, berpikir itu agli.

" jashend! " kataku dengan nada sedikit tinggi.

" apa? "

" sejak kapan disini? "

" kenapa? "

" kamu dari tadi ya? "

" terus? "

" jashend jawab yang lain apa. " aku memajukan bibirku.

" hahahaha.. Maaf, baru sih. "

" ngapain kesini? "

" aku tadi nggak sengaja lihat kamu duduk disini sendirian, aku takut kalau ada apa-apa jadi aku kesini. "

" kenapa harus takut, aku sudah gede tau. "

" iya.. aku tau itu, tapi kaki ini nih salahin. "

    Jashend memukul kedua kakinya.

" kenapa harus salahin kaki kamu? "

" iya, karena dia nggak bisa berhenti melangkah saat melihatmu. "

   Serasa ada bom waktu di hatiku ini yang siap meledak sewaktu-waktu.

" hehh memangnya kaki punya mata? "

" bukan mata kaki yang melihat kamu, tapi hati ini... lalu pikiran ini dan berujung pada langkah kaki yang tak terhenti. "

    Jashend berhasil membuatku diam seribu kata dengan rayuannya.

" lagi-lagi.. " kataku sambil memalingkan pandangan.

    Jashend tersenyum ringan, melihat kelangit dan menunjuk sesuatu di sana.

" lihat awan putih itu. "

" ada apa dengannya? "

" bukannya dia kasihan. "

" kasihan... Untuk apa? " aku menjawab sebisaku, jujur saja terkadang aku bingung dengan alur pembicaraan jashend.

" dasar, kamu tidak lihat dia sendirian. "

    Aku mengamati sekali lagi awan putih itu, dan benar saja awan itu sendirian.

" hehh memangnya kenapa dengan itu? "

    Segumpal awan lainnya menyusul dari belakang, entahlah tapi aku sangat antusias dengan hal ini.

" ehh lihat itu, ada awan lainnya yang nyusul. "

   Jashend melihat kearah awan yang aku tunjuk, senyuman manisnya mengembang.

" kamu tau persamaan kita dengan awan awan itu? "

" apa? "

" awalnya dia sendiri, sama seperti aku yang masih mencari seorang kekasih yang tepat. "

" terus.. "

" terus kamu datang, perlahan lahan mulai mengisi kekosongan hatiku. "

     BOMMMM.... Bom waktunya sudah meledak saat itu juga, salah tingkah bukan main lagi.

" apaan sih jashend. "

" hahahaha cie.. ada yang salah tinggakah. " goda jashend padaku.

    Hari yang sempurnah saat ini, aku berharap agar selamanya tetap seperti ini.

Untuk yang tersayang
        Pelajaran olahraga bukanlah keahlianku. Tapi, menerima cintamu adalah kebanggaan bagiku.
                           Shendiela Smit.

In the Dark and In the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang