Bab IV

5 4 4
                                    

" sayang ayo cepat turun. " teriak ibuku dari ruang makan.

" iya ibu sebentar lagi. " jawabku tak kalah keras dari ibu.

   Ayah menaruh buku pekerjaannya diatas meja, melepas kacamata dan mengambil segelas air putih. Derap langkah kakiku terdengar seperti seribu pasukan siap bertempur. Senyum cerah mengembang menghiasi wajahku pagi ini. Memang ini hal yang aneh, tapi rasanya aku ingin terus tersenyum kepada semua orang.

" ayah lihat putri kita."

" sepertinya sedang jatuh cinta. "

" ayah.. enggak kok, hari ini aku lagi seneng aja. "

" mentang-mentang kemarin di antar cowok tampan yah, digendong lagi. " celetuk ibu.

   Semenjak aku pulang dari lari pagi, aku ingin terus tersenyum. Rasanya ada sentuhan baru yang berarti dan ingin kukejar.

" wah.... Sepertinya ayah tidak salah pilih kota buat pindah. " kata ayah memberi isyarat kepada ibu.

" ayah udah lah, nanti telat kalo nggak cepet-cepet sarapannya. " tukasku cepat.

" takut telat apa takut nggak bisa ketemu sama cowok itu? "

   Tanpa pikir panjang aku mengambil sarapanku dan memakannya diruang keluarga. mereka berdua memang pasangan yang serasi, kompak banget kalau lagi menggodaku.

" sudah selesai? "

" udah yah, tunggu aku mau balikin piring kedapur dulu. "

   Ayah pergi kegarasi untuk memanaskan mobil. Aku sedikit berlari menuju dapur, menaruh piring kotor, cuci tangan dan segera berpamitan kepada ibu.
     Disepanjang perjalanan menuju sekolah ayah menanyakan hal yang sebenarnya aku sendiri tidak punya jawabannya. Kalau tidak dijawab ayah akan semakin menjadi-jadi saat bertanya.

" ngomong-ngomong siapa nama cowok itu? "

" hmm entahlah. "

" putri ayah jangan bohong. "

" beneran yah, diela nggak tau. "

" memangnya kamu nggak nanya siapa namanya? "

" mana Sempet yah, orang kaki lagi sakit. "

" ahh.. kan kamu digendong sama dia, masak kalian nggak ngomong apa-apa? "

" cuman ngomong soal arah rumah aja, nggak yang lain-lain. "

" hemm gitu. "

    Akhirnya samapai juga disekolah. Rasanya sudah setahun aku didalam mobil ayah, menjawab setiap pertanyaan. Aku merasa seperti tersangka yang perlu diselidiki dengan detail.
   Aku berjalan menuju kelas, karena kakiku belum sembuh benar jalanku sedikit terpincang-pincang. Rasa sakitnya sudah mereda hanya saja sulit jika harus berjalan dengan kaki yang dibalut perban tebal. Selain itu aku malu karena jadi pusat perhatian beberapa orang.

" hai diela. " sapa agli dari belakang.

" hai.. "

" kemarin kamu bilang kaki kamu sakit. "

" ahh itu, Iya kakiku terkilir. "

" kamu telat telphone aku, jadinya nggak sempet jenguk. "

" nggak apa-apa kok. "

" sini aku bantuin jalan."

" makasih."

   Aku beruntung punya teman baru yang baik denganku. namanya agliana zenthalia, dia anak pengusaha dikota besar tetapi memilih untuk tinggal di kota ini karena ingin menghindari sibuknya kota besar. Rumah agli berjarak 10 meter dari rumahku.

In the Dark and In the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang