“Tanda yang kau berikan sudah jelas, sekarang aku tahu harus bertindak seperti apa,"
-Jonathan Alfaro Lyson.
“ Amara, tolong bantuin aku!”
Aku terlonjak kaget mendengar namaku dipanggil, padahal tubuhku sudah ku sandarkan pada tembok sebelahku ini, ketika itu rasa kantukku membuyar seketika, segera ku beranjak dari sandaran tembok dan mencari sumber suara tersebut.Ternyata dia, sosok yang membuat hatiku beberapa minggu terakhir tak karuan. Bukan beberapa minggu terakhir sih, lebih tepatnya satu bulan yang lalu.
“Ada apa Al?” tanyaku pada sosok pria yang memanggilku, dia Alfaro.
“Ini bantuin gue, gak bisa turun nih,”
“Ya bantuin pakai apa coba? Kamu ini aneh-aneh aja, siapa suruh panjat pohon segala, kalau emang gak bisa turun buat apa tadi panjat segala,” dumelnya pada partner kerjanya itu.
“Udah dumelnya? Bantuin kek, jangan dumel melulu nanti tambah cantik gimana? Kan aku tergoda,” Alfaro dengan gaya bucinnya keluar, membuat wajah Amara blusing seperti kepiting rebus.
Deg!
Rasanya aku ingin terbang dan melayanga.
“Iya-iya, makannya jadi cowok itu yang gentle dikit napa? Loncat kek, atau apa kan bisa!” tukasnya.
“Oke, gue akan loncat, nanti kalau ada apa-apa kamu yang bertanggungjawab!" pekik Al.
“Ets jangan-jangan, biar aku cari tangga dulu.” Katanya seraya mencari-cari tangga disekitar lokasi syuting.
Tak ada orang sama sekali, padahal hari ini belum terlalu larut. Jam menunjukkan pukul 7 malam, keadaan di tempat kerja Amara sepi sekali seperti kuburan.
“Pak Supri, Fano, Risty, kalian dimana?” teriaknya sembari mengikat rambutnya yang masih tergerai.
Tak ada jawaban sama sekali, dimana mereka semua? Pikir Amara
“Kalian gak lucu deh, tuh Al butuh bantuan, udah malam nih cuaca gak baik.” Amara terus mendumel sepanjang jalan, dia juga tak kunjung menemukan tangga.Ada yang ganjal menurutnya, kayaknya ada yang mengikutinya dari belakang.
“Jangan macam-macam ya!” ucapnya dan berbalik arah, namun nihil tak ada siapa-siapa disana.
Amara terdiam sejenak, beberapa detik dia melanjutkan langkahnya dan menemukan tangga.
“Berat banget nih tangga,” oceh pada tangga yang mati,
“Tangganya yang berat atau kamu yang kecil?”
“Ih kalau ledekin jangan setengah-setengah,” jawabnya
Tak ada jawaban, Amara baru sadar bahwa sedari tadi dia sendiri dan siapa yang menjawab tadi? Bulu kuduknya menegang seketika, berjejer rapi seperti barisan. Matanya yang was-was menambah ketakutan Amara.
Amara ini salah satu gadis yang berani, dia kurang percaya pada hal-hal seperti itu tapi sekarang, rasa tak percaya memudar pelan.
Set
Amara terkejud melihat apa yang baru saja lewat di depannya, detak jantungnya kini tak beraturan, keringat mulai bercucuran dan badannya bergetar tanpa alasan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Takdir Menyapa
Espiritual(Follow dulu, baru baca! Hehhe, sebagian part diprivat. Jadi kalau mau baca, ya di follow dulu hehe.) Part 1-20 An #teenfiction Part 20an-ke atas# teenfiction-spiritual "Maaf kita harus berpisah, sebab doa kita tak menuju ke langit yang sama" -Jona...