12. Cahaya Terang.

630 37 0
                                    

Aku masih terdiam akan sebuah kesendirian dalam kamar. Tidak ada sahabat-sahabatku yang selalu menertawakan ku, tidak ada mereka yang menghibur ku, tidak ada mereka yang selalu meributkan apa yang tidak seharusnya diributkan. Kenapa? Karena hari ini liburan sekolah. Jadi ngga ketemu gitu, da beda rumah juga siih ( plise deh yang bener ceritanya) canda doang ih. (Sewot nih author!) Iya deh ih,sensi amat lagi napa sih ya. ( Bodo,ayo lanjutin tuh kasian pada nungguin). 

"Sepintas aku memikirkan dia yang berhasil meluluhkan. Entah mengapa? Aku mengkhawatirkan. Bagaimana dengan nasibnya? Apakah ia masih menyimpan rasa kepadaku atau mungkin sudah beralih kepadanya. Jujur! Aku menyukainya, namun terlalu malu untuk membuktikannya. Maaf jika selama ini terlalu mengabaikanmu, sebenarnya aku sangat mengagumimu dalam diam. Semoga kau baik- baik saja dan tetap dengan rasa yang sama kepadaku, maaf aku mengharapkan dalam diam karena  ini caraku agar tidak kembali terulang. Tapi sayang semuanya berakhir dengan terluka." Monologku sambil menulis di buku yang pria itu berikan.

"Neng!!!". Teriak ibu ku kencang.

Aku langsung tercengang dan beristighfar.

"Iyaaa buuu!"

"Siniii cepett."

Aku segera berlari kecil menghampiri ibuku.

"Kenapa bu?".

"Kamu inget kakek yang kemarin?". Tanya ibuku dengan mimik wajah panik.

"Ingett bu." Jawabku sedikit lama,  Entah mengapa rasanya aku merindukan kakek yang sangat dermawan itu.

"Yuk, jenguk beliau ke rumah sakit." Lanjut ibuku sambil berjalan keluar.

"Ayo cepet 3 menit harus udah siap". Sahutnya kembali ketika sudah berada di luar rumah.

Aku masih terdiam. Mencerna yang ibu katakan. Sedikit aneh, tapi lupakan lah.

Aku segera bergegas mengganti baju dan merapihkan jilbab.

"Okeh siap nih bu". Sahutku ketika keluar rumah mengahampiri ibu.

"Pake masker nya. Kasian sama kamu nanti kambuh lagi kalo kena debu banyak- banyak." Ujar ibu ku sambil memakai helm.

"Iyaa ibuu".

"Ayo naik".

4 jam berlalu, tapi masih belum sampai juga. Wajar sih, perjalanan dari cirebon ke Yogyakarta memakan banyak waktu.

"Bu, rumah sakitnya masih jauh ya?". Tanyaku antusias.

"Bentar lagi".

"Ibu tau dari mana kakek itu dirawat dirumah sakit?".

"Yaa ada ajah yang ngasih tau".

"Hem"

"Ngga tega ibu liatnya pas kemarin, ada panggilan jiwa juga buat nengok beliau".

"Iya nih bu fia juga ngerasa kangen bangett, padahal ngga kenal." Sambungku dengan ekspresi heran.

"Ko bisa gini ya neng?".

"Ngga ngerti tuh bu".

5 menit kemudian..

"Ayo turun neng".

Aku langsung melepaskan helm yang tadi ku pakai dan memberikan kepada ibuku.

Rasa yang tak karuan menyerbuku. seakan aku pelaku pemukulan itu, tapi, lebih besar rasa rindu yang kudapatkan, dan itu alasan aku berani melangkah demi langkah agar cepat terobati dengan sebuah kerinduan yang sedikit mendobrak pikiranku.

"Ibu tau ruangannya?". Tanyaku sambil menengok-nengok .

"Tau." Jawabnya singkat.

"Ko bisa bu?".

Pangeran Pondok PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang