Theory 12

56.8K 7.3K 399
                                    

Ada beberapa hal yang masuk dalam golongan hal-hal pencetus kegalauan. Sebut saja, malam, hujan, mantan. Bari, bertemu ketiganya bersamaan beberapa jam lalu. Kesimpulannya, Bari galau akut.

Lucu. Untuk laki-laki seumurnya, melamun bukan berpikir tentang masa depan, tapi malah mengorek masa lalu, mengais luka terpendam. Berdiam di dalam mobil, melirik ke arah rumahnya sendiri, menunggu sampai lampu ruang tamu padam, sebagai tanda mamanya sudah pergi tidur.

Bari selalu canggung berhadapan dengan mamanya di hari ulang tahunnya. Bari nggak suka saat mamanya mengucapkan selamat ulang tahun, memeluk, lalu mencium pipinya, mengucapkan doa tapi diiringi tatapan iba. Bari benci itu. Jadi lebih baik menghindar.

Sama seperti kebanyakan orang, sebelumnya Bari juga menanti-nanti hari ulang tahunnya. Rasanya menyenangkan saat mendapat pelukan dari orang-orang tersayang, seharian diperlakukan dengan baik, didoakan baik-baik, diberi kejutan, mendapatkan kado sesuatu yang dia idam-idamkan.

Ulang tahun nggak pernah menyenangkan lagi untuk Bari sejak tiga tahun lalu. Di hari itu, bukan kejutan menyenangkan yang dia dapatkan saat pulang. Bari harus menerima kenyataan, sebuah pengkhianatan.

"Maaf."

Bari memejamkan mata, menelungkupkan kepalanya pada setir mobil. Selalu begitu saat ingatannya seolah mengejek, membeberkan memori-memori yang enggan dia ingat.

Bayangan seorang wanita berlutut di depannya, memeluk kedua kakinya sambil menangis, memohon pengampunan darinya dengan suara lirih.

Bari mencengkram setir mobilnya kuat-kuat. Bukan perasaan iba yang dia dapat setiap bayangan itu muncul. Rasa marah dan terluka yang selalu menguasainya.

"BANGSAT!"

Bari mengantam setir mobil dengan keras. Sama seperti hari itu. Hanya saja, dulu Indah lah yang menjadi objek pelampiasan amarahnya.

~o0o~

"Ci. Hubungi AJI." Rudy meletakkan berkas budget di atas meja Rosie dari salah satu event yang akan mereka garap. "Butuh duit kita."

"Pak? Serius kita minta duit ke mereka lagi?" Rosie menatap Andy yang berdiri di belakang Rudy penuh tanya, dan dibalas Andy dengan menaikan sebelah alisnya, bertanya tanpa mengeluarkan suara. "Malu, Pak. Masa gue hubungi Pak Adit atau Mas Bari cuma tiap mau ngajuin proposal sponsorship."

"Dek. Makanya kalau bapak ngomong dengerin." Yang lain tertawa saat Andy menarik napas dalam, lalu menghampiri Rosie dan duduk di mejanya, seperti ayah yang hendak menasehati anaknya.

"Coba ke foodcourt sekarang. Lihat showcase chiller minuman di setiap tenant." Andy mengambil jeda sebelum kembali bicara. "Perusahaan ngasih uang nggak sembarangan. Lo pikir orang-orang AJI nggak ada perhitungan. Itu satu foodcourt kita full branding produk minuman dari AJI. Hitung berapa biaya yang harus mereka keluarin kalau mereka sewa tempat atau media promosi." Andy berdiri lalu menyilangkan tangan di depan dadanya. "Lagian kan gue berkali-kali bilang, jaga hubungan, Ci. chat basa-basi sekedar tanya kabar nggak dosa. Kalau ada event kuliner undang mereka, ajak makan. Biar nggak putus komunikasi. Kok nggak belajar sih dari yang lalu." Andy beranjak dari meja Rosie lalu berlalu ke dalam ruangannya begitu saja.

"Dengerin, Dek kalau dikasih tau bapak." Rega kumat, menggeser kursinya lalu menunjuk-nunjuk Rosie. "Nggak naik kelas kamu, kalau nggak belajar."

"Ih! Gue kan cuma tanya, Om." Mengabaikan Rega, Rosie melirik Rudy yang berjongkok di belakang kursi kerjanya, menghadap lemari penyimpanan.

"Pertanyaan lo salah." Cuek, Rudy mengambil guntaker dari lemari penyimpanan alat. "Tau sendiri bapak begitu. Kalau malas diskusi sama dia, lo ke gue. Udah buat aja proposal ke AJI kayak biasa. Nanti gue yang telpon Mas Adit buka jalan. Lo langsung ke Bari. Mau setting grand hall dulu gue." Setelah itu Rudy beranjak ke arah luar ruangan.

The Slimfit TheoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang