Chapter 11

3.5K 271 5
                                    

"Yang disuntik Bunda, ngapa yang nangis elu sih?" Qrilly memukul kepala adiknya sambil mengempaskan bokong di sebelah Prilly yang menangis, si cengeng itu histeris saat suster datang menyuntik bunda mereka.

Prilly melotot galak, ingin balas memukul Qrilly jika suara ayah tidak menghalangi niatnya. Mengingatkan dalam perut Qrilly ada calon keponakannya yang akan lahir dua bulan lagi, beruntung sekali.

"Asik, gue dibelain Ayah! Sayang Ayah!" ucap Qrilly melempar ciuman jauh ke arah ayahnya.

Merasa tak terima, Prilly mendekati bunda dengan tangis makin keras. Dasar Qrilly! Sudah tahu punya adik cengeng, digodain juga.

"Udah-udah, Bunda lagi sakit gini kok malah pada berantem. Emhhh, kamu juga! Jangan terlalu gampang nangis. Kalau udah nikah, kabur kali suami kamu," goda bunda pada Prilly.

"Ihh, nanti Prilly disayang-sayang kok. Masa ada cowok mau ninggalin cewek seimut Prilly."

Kalimat bangga meluncur dari bibir tipis Prilly, membuat semua yang ada dalam ruangan tertawa. Namun, tak lama karena bunda masih harus banyak beristirahat. Dengan perut besarnya, Qrilly dan Arbi pamit pulang. Wanita itu juga tak bisa duduk terlalu lama, mengingat usia kandungannya memasuki trimester ketiga.

"Ayah istirahat aja, biar Prilly yang jagain Bunda. Ayah pasti capek juga 'kan?!" Pertanyaan disertai perintah itu, Prilly tujukan pada sang ayah. Saat ini, hanya tersisa mereka berdua saja dalam ruangan yang seketika hening.

"Perjalanan Jakarta-Palangkaraya jauh, kamu belum istirahat sama sekali. Lebih baik sekarang kamu istirahat, bukannya besok kamu harus pulang."

Prilly tersenyum, mengisyaratkan jika dia tidak merasakan lelah sama sekali. Justru Prilly senang bisa berkumpul dengan keluarganya, meski cuma sehari.

"Kalau gitu kita tungguin Bunda bareng-bareng," kata Prilly memijat bahu ayah pelan.

Getaran ponselnya membuat Prilly meraih ponsel dengan tangan kirinya, dia mengernyit mendapati layar pipih itu berkedip menampilkan sebaris nomor tak dikenal. Tanpa pikir panjang Prilly menekan gagang telepon berwana hijau, mungkin saja penting.

"Halo? Ini siapa?"

Tutttt.... Tutttt....

Belum sempat mendapat jawaban, sambungan sudah terputus. Gadis itu mengangkat bahu tak acuh dan kembali memijat ayahnya.

"Salah sambung." Begitu jawab Prilly saat ayah menengok dengan alis terangkat.

***

Dengan setelan yang belum rapi, Ali menuruni anak tangga tergesa. Semalaman penuh matanya tidak mau terpejam, baru subuh tadi lelaki itu bisa tertidur pulas. Entah apa yang terjadi, bayangan Prilly terus-terusan muncul membuatnya jadi susah tidur.

"Cepet-cepet kamu nikahin Luna, biar tiap pagi enggak keteteran begini. Kalau nikah sama Luna 'kan kamu pasti lebih terawat."

Ali menyeruput secangkir kopi di sofa sambil memakai sepatu, mengabaikan ocehan sang nenek yang sama sekali tak berubah topik. Luna lagi, Luna lagi. Sekarang dia harus segera ke kantor dalam lima belas menit, ada pertemuan dengan para pemborong pagi ini.

"Aku berangkat dulu ya, Nek. Baik-baik di rumah," pamitnya mengecup pipi kiri dan kanan nenek, menaruh cangkir di atas tatakan tergesa.

"Ck, dikasih tahu juga." Nenek Ali berdecak kesal, cucunya itu memang terlalu cuek dengan wanita. Sudah berkali-kali ia mencoba mendekatkan Ali dan Luna, tapi lelaki itu tetap sama saja. Tidak tersentuh dengan perhatian Luna. Entah siapa yang bisa mengubah Ali menjadi lebih hangat.

***

"Jadi baiknya bagimana Pak? Perusahaan kita sedang mengalami grafik penurunan akhir-akhir ini," sekretaris Ali tampak menatap bos besarnya menunggu jawaban dari persoalan yang cukup menggoyangkan neraca perusahaan. Namun, lelaki maskulin itu malah terdiam.

"Pak?"

Baru saat lengannya tersentuh, Ali mengangguk. Dia mengerjap lalu membolak-balik dokumen di meja, berusaha memusatkan pikiran yang terus berkelana ke mana-mana.

"Kita lanjutkan besok, kepala saya sedikit pusing," putus Ali sambil memijat pelipisnya.

Ali merasa kepalanya begitu penuh dan berat.

Setelah mendapatkan persetujuan, Ali berjalan cepat menuju ruangannya. Ingin membaringkan diri di atas sofa yang empuk. Iseng, Ali membuka pesan terakhir yang dikirimkan Tiur semalam.

[Tiur💦: mas monster kangen sama Prilly paling😚]

Sumpah. Kalau dekat, sudah Ali kempeskan badan gembul Tiur itu. Menambah kepusingan saja, tapi mungkinkah?

Klung....

Pesan yang baru saja masuk membuat kedua mata hitam Ali hampir lepas dari tempatnya.

[Tiur💦: kata Prilly, dia kangen dicium bibirnya sama mas monster]

***

"Wahh, Mas Ali gercep juga ya. Langsung telepon kamu!"

Prilly mengerutkan kening mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan curhatannya, ada telepon salah sambung kenapa sampai ke mas monster sih? Sepertinya Tiur sekarang menjelma jadi makcomblang.

"Apaan sih Tiur! Enggak nyambung tauk," katanya menjepitkan ponsel di antara leher dan telinga, saat ini Prilly sibuk membereskan pakaian untuk pulang besok.

"Enggak nyangka aja, baru aku kirimin nomor kamu eh langsung ditelepon ternyata. Aroma-aroma jadian ini mah," jawab Tiur sembari tertawa menggoda.

Jadi Tiur bagi-bagi nomornya sama Ali, kenapa enggak ngomong dulu sih? Prilly menggeram gemas.

"Ihh, nomor Prilly kok disebar-sebar sih! Sama mas monster lagi, Tiur bikin Prilly malu taukk!"

"Siapa mas monster?"

Bersambung...

Be Lovely (Selesai)-Ada Versi PdfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang