Episode 4

29 8 2
                                    

4

***

Beberapa hari selanjutnya, Rah tidak mau menyapaku lagi. Aku tidak terlalu peduli, karena dugaanku soal tempat ini memiliki premis yang kuat. Ini kota. Kota tidak pernah benar-benar ramah pada orang luar. Keramahan yang menyambut pendatang baru, akan menusukkan pedang di belakangnya.

Dan selama beberapa hari itu pula, Laksamana terus datang ke dalam sini. Dia selalu datang ke sini dengan membawa pelanggan berbeda. Semuanya perempuan berdandan modis ala kota dan memakai bedak seberat satu kilo sampai aku bisa melihat partikelnya berhamburan kalau tertiup angin dari kipas tua.

Kadang-kadang, mereka cuma makan. Kadang-kadang lagi, sambil mengobrol. Lebih sering mencuri kesempatan berduaan di dalam sini sampai aku menggebrak meja supaya mereka tidak melanjutkannya.

Aku memandang tabu seks, dan menurutku, ciuman juga termasuk ke dalam seks. Sebab hal-hal yang berbau seks tidak sepantasnya dilakukan di tempat umum. Dan orang-orang tidak mau ciuman mereka dilihat orang lain, makanya aku memasukkannya sebagai bagian dari seks.

Hari ini, dia datang lagi. Memakai kaus tanpa lengan berwarna putih, celana jeans yang nampak baru, dan sepatu chuck taylor putih gading. Rambutnya terlihat lebih rapi dari kembarannya yang sulit dibedakan dengan gembel di bawah fly over.

Dia sendirian.

Tepat di depan pintu, Laksamana mengedipkan sebelah matanya ke arahku sebelum berjalan menuju rak yang penuh cemilan dan mengambil stoples manisan pala. "Tolong air putihnya."

Aku segera menuju dapur untuk mengisi gelas tinggi dengan air dispenser dan meletakannya ke meja yang ditempati Laksamana. Laki-laki itu bersiul.

 Laki-laki itu bersiul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Makasih. Mau gabung?"

"Nanti," balasku. "Kalau aku sudah kurang kerjaan."

"Gue lihat lo selalu kurang kerjaan. Tempat ini enggak pernah dimasuki orang selain gue."

"Dan perempuan-perempuanmu."

"Valid point. Jadi, mau gabung?"

Aku menatap laki-laki itu dengan jengkel, kemudian melepas apron yang melingkar di pinggang dan duduk di depannya. Bagaimanapun dia benar, aku memang sudah kurang kerjaan. Tempat ini betul-betul tidak mempunyai pengunjung selain Rah, bocah ini, dan semua tabungannya.

Laksamana bersiul lagi, lalu beranjak ke rak lagi untuk mengambil stoples manisan pala yang lain.

"Nah, ini cemilanmu. Ayo ngobrol!"

Aku melirik stoples yang disodorkan Laksamana dan mengernyit tanpa menyentuhnya. "Apa untungnya ngobrol denganmu?"

Laksamana tersenyum senang, matanya berkilat-kilat penuh maksud. "Perempuan sombong memang biasanya oportunis. Atau kebalik, ya?"

PHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang