Episode 9

118 5 0
                                    

n:/ESKAPISME

n (nomina)

Semua orang pasti memiliki sikap eskapisme. Kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan atau ketentaraman dalam dunia khayal atau situasi rekaan. Anak-anak memilikinya ketika bermain. Mereka berkhayal menjadi pengantin atau menjadi penjual sayur. Orang dewasa memilikinya juga. Mereka berkhayal bahwa keputusan yang mereka ambil benar sekalipun itu salah.

Eskapisme. Semua orang mempunyainya. Tidak perlu malu dan berlagak paling realistis. Kita semua tahu, memikirkan kenyataan lebih banyak akan mendatangkan rasa ingin mati yang lebih besar. Menghindari kenyataan mudah, tapi banyak ditertawakan orang.

Orang memandang rendah orang lain yang menghindari kenyataan, padahal mereka sendiri lebih sering menghindari kenyataan dengan menertawakannya. Kenyataan. Apa bedanya dengan mimpi-mimpi? Kenyataan dan mimpi itu sama-sama menyesatkan.

 Apa bedanya dengan mimpi-mimpi? Kenyataan dan mimpi itu sama-sama menyesatkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku membuka mata. Tanpa geliat atau gerakan-gerakan dramatis orang baru bangun tidur. Aku membuka mata secara alami dan spontan, terbuka begitu saja. Hal yang pertama kulihat adalah asbes kelabu kotor, terlihat seperti tidak pernah dicat.

Hari masih gelap. Kuraba jam tangan yang kuletakkan di bawah bantal. Pukul 3.

Aku mengarahkan pandangan ke jendela. Di luar sana, bulan bersinar penuh. Sendirian tanpa adanya bintang yang mungkin tertutup awan atau kabut polusi atau polusi cahaya. Keadaan di luar hening, seperti kota mati. Aku menikmati keheningan seperti ini. Hening yang gelap membuatku mampu berpikir lebih banyak.

"Kamu pusing?"

Aku terkesiap dan langsung duduk dari posisi berbaring dengan waspada. Kemudian, menarik napas lega waktu melihat Kino berjongkok di kusen jendela dengan santai. Seakan-akan dia sudah lama berada di sana.

"Gimana bisa kamu masuk?"

"Dari udara," katanya dengan nada bernyanyi. Aku menyandarkan kepala ke kepala tempat tidur. "Apa yang kamu cari sebetulnya, Wii?"

"Bermacam-macam."

"Banyak?"

"Ya."

"Apa spesifiknya?"

"Kebenaran?" tanyaku. "Kewarasan?"

Kino terbahak mendengar jawabanku. Tapi, sesaat kemudian, dia justru meneteskan air mata sambil menatapku. Seakan-akan aku orang yang sangat menyedihkan. Kemudian, dia menggeleng-geleng prihatin dan mengelap air mata menggunakan ujung lengan kemeja putihnya.

 Kemudian, dia menggeleng-geleng prihatin dan mengelap air mata menggunakan ujung lengan kemeja putihnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wii, mau tahu satu rahasia?" tanya Kino.

Aku memeluk lutut. "Apa?"

"Kamu itu manusia phi."

"Phi? 3,14 sekian, sekian?"

Kino tersenyum. "Bukan soal matematika."

"Lalu apa?"

"Ya, phi. Manusia phi selalu menarik manusia phi lain untuk mendekat. Atau kalian saling tarik menarik, begitu, ya?" Kino tampak bingung dengan kesimpulannya sendiri.

"Bisa langsung? Aku enggak ngerti apa yang kamu omongin."

"Kamu mengerti, kok."

"Jelaskan!"

"Kamu terlalu lama menolak dirimu sendiri dengan berusaha berubah menjadi robot. Mula-mula, kamu matikan emosi sedihmu, lalu kamu sembunyikan kekecewaanmu, kemudian kamu pendam amarahmu. Sekarang, kamu pikir kewarasan seperti apa yang bisa kamu raih?"

"Kino, please. Aku enggak mengerti."

"Wii, manusia berhak buat sedih, kecewa dan menangis. Sekalipun dengan orang yang kamu sayangi." Kino mengetuk kusen jendela kuat-kuat, seperti sedang mengecek seberapa tua kusen itu. "Berhenti jadi manusia phi."

Aku mengernyit tidak mengerti. Tapi Kino seakan enggak peduli. Dia berdiri dan berjalan mengelilingi kamarku. Tangannya memegang semua hal yang ada di sana, seakan sedang mengecek keberadaannya. Kemeja putihnya berkibar mengikuti gerakannya.

"Bukannya kamu mau panggung baru?"

"Shakespeare?"

Kino mengangguk. "Kamu enggak bisa mendapatkan panggung baru kalau kamu enggak membuat cerita baru. Iya, kan?"

"Bagaimana caranya membuat cerita baru?"

"Beli buku kosong!"

Aku tidak mengerti. Tapi Kino terlihat tidak peduli. Dia masih bergerak-gerak keliling kamar. Mengomentari ini-itu yang tidak ada kaitannya dengan pembahasan sebelumnya. Panggung baru. Aku memang ingin panggung baru. Di panggung lama, aku merasa rusak. Itu sebabnya aku pindah ke sini. Tapi, sudahkah aku mendapat panggung baru?

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang