Episode 6

165 7 2
                                    

6

***

Dunia adalah panggung,

Semua orang hanyalah pemain;

Mereka keluar dan masuk;

Dan satu orang dalam kehidupannya memainkan banyak peran....

As You Like It- William Shakespeare

Aku tersentak dari kegiatan tidur di meja bar begitu pintu di depan berderit terbuka. Mataku menyipit begitu melihat siapa orang yang berani masuk ke dalam ketika tandanya sudah kubalik menjadi closed di waktu tidur siang begini. Tapi harusnya aku sudah bisa menduga.

Tentu saja Laksamana. Aku menegakkan posisi duduk sambil mencermatinya bergerak menuju rak camilan dan mengambil stoples manisan pala. Hari ini dia memakai kaus tanpa lengan berwarna hitam, memperlihatkan garis lengannya yang sempurna dan celana jeans, dengan aksesoris berupa sapu tangan berwarna merah yang diikat di pinggang jeansnya.

Tanpa disuruh, aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih, lalu membawanya menuju Laksamana. Dia menahan senyuman, tapi tidak menyembunyikan tatapan matanya yang jahil.

"Apa ini?"

"Air putih," jawabku sambil duduk di depannya. Dia mengerjapkan mata dengan bingung.

"Lagi ngapain?"

"Duduk."

Dia tertawa, kembali berdiri untuk mengambil stoples lain dan menyerahkannya padaku. "Oke. Mau ngobrol?"

"Mungkin."

Laksamana tertawa lagi. Tangan kirinya naik untuk menurunkan poni yang tadi dia susun ke belakang hingga menutup separuh matanya. Sekarang dia menjadi sangat mirip dengan Kaisar, minus aura gembel. Bagaimanapun, meskipun mirip secara fisik, Laksamana jauh lebih enak untuk dilihat dibandingkan Kaisar yang memakai pakaian lusuh dan terkesan tidak pernah mandi itu.

Aku memperhatikan tangan kirinya yang sudah diletakkan di atas meja. "Luka bakar?"

Dia mengangkat tangan kirinya lagi untuk melihat bekas yang kutunjuk dan tersenyum lebar. "Iya."

Aku mengangguk singkat. "Luka bakar memang susah hilang. Aku punya satu luka seperti itu, di kaki. Bekas kena knalpot motor waktu kelas 5."

"Lo baru sadar soal luka ini barusan? Setelah berkali-kali ketemu?"

"Aku bukan tipe yang suka mengurus hidup orang lain."

"Ini enggak berpengaruh? Enggak tergoda?" Aku menyipitkan mata tidak mengerti mendengar pertanyaannya. Laksamana mengusap bekas luka bakarnya dan tersenyum penuh arti. "Biasanya, para perempuan itu tergoda sama ini. 'Kenapa? Sakit? Bagus, kamu terlihat lebih seksi' dan sejuta kalimat basi lainnya. Meskipun kasihan, tapi itu awal mengapa mereka tertarik dan mau kenalan. Lo beda."

"Kamu harus berhenti membandingkan aku sama perempuan-perempuan simpananmu itu."

Laksamana mengangguk-angguk. "Gue akan belajar untuk itu."

"Aku penasaran kapan terakhir kali kamu potong rambut," kataku mengalihkan pembicaraan, melihat rambut lurusnya jatuh lagi menutupi mata.

"Gue juga."

"Pasti sudah lama sejak terakhir kali."

"Iya. Model rambut enggak akan memberi pengaruh apa-apa terhadap orang yang enggak punya pengaruh."

"Itu memberi pengaruh untuk kesan pertama. Orang akan menganggapmu gila ketika pertama kali melihatmu dengan gaya rambut tidak terurus macam itu."

"Orang selalu anggap gue keren dengan gaya rambut ini." Laksamana menggeleng-gelengkan kepala. "Tentu aja lo beda. Gue selalu percaya kalau kesan pertama selalu hancur tanpa bekas begitu kita mengenal seseorang lebih dalam. Manusia yang cerdas enggak peduli pada kesan pertama."

PHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang