Episode 7

138 7 3
                                    

7

***

"Kamu kelihatan berantakan."

Aku mendongak dan menemukan seraut wajah familiar berdiri di balik meja bar tempatku duduk termangu sejak pagi. Sosok setara denganku yang diam-diam aku rindukan kehadirannya. Mulutku membuka, ingin mengatakan sesuatu tapi segera menutup lagi begitu tidak berhasil menemukan satu katapun yang pantas untuk diucapkan.

Dia tersenyum dan mengulurkan lengannya yang panjang untuk mengacak rambutku. Setelahnya, dia melompat memasuki meja bar. Dan untuk ke sekian kalinya, aku melihat manusia terbang. Aku menarik napas dengan satu tarikan tajam.

"Kino!"

"Yep, itu memang namaku sejak lahir dan belum pernah berubah."

"Bajumu lain." Aku mengamati. "Rambutmu."

Kino menunduk untuk melihat setelannya. Kaos putih polos dilapisi dengan kemeja lengan pendek yang juga putih polos dan celana jeans. Dan hari ini rambutnya berwarna hijau cerah. Dia melihatku sambil tersenyum lebar.

"Menyesuaikan."

"Jadi kamu juga sudah lulus? Kita seangkatan?"

"Ya dan tidak. Jawaban untuk pertanyaanmu cukup kompleks."

Aku tersenyum girang. "Enggak masalah, bukan hal penting. Gimana bisa tahu aku ada di sini?"

"Burung-burung," jawabnya dengan lagak kocak.

"Aku serius!"

"Aku bisa berada di mana saja selama ada kamu, Wii," katanya sambil tersenyum. Dia duduk di meja bar dan menumpukan kedua tangannya di samping badan. "Kamu lagi sedih. Kenapa? Pelarian tidak berjalan sempurna?"

"Itu satu hal," kataku pelan. "Ada yang lain lagi."

"Aku selalu mendengarkan."

"Aku kerja di sini. Yang punya namanya Kaisar, punya kembaran bernama Laksamana dan punya Bude bernama Rah. Mereka semua aneh. Tempat ini aneh."

"Namanya saja aneh, Lude's Cave. Ada yang punya nama Lude di sini?"

Aku menggeleng. "Menurutmu, mereka orang jahat bukan?"

"Menurutmu sendiri?" Kino balik bertanya, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

"Mereka berbahaya, tapi bukan orang jahat. Kurasa orang gila. Tapi itu masih berupa hipotesa. Dugaan. Aku enggak boleh ambil keputusan berdasarkan hipotesa semata. Apalagi hipotesa yang kupunya bukan aksioma."

"Hipotesa memang bukan aksioma." Kino menghela napas. "Kadang-kadang, kupikir tetangga penggosip di kampungmu itu membuatmu trauma."

"Bukan trauma. Mereka kasih aku pelajaran supaya enggak mengambil kesimpulan yang salah sebelum mengetahui semua teori. Karena itu bisa menyakiti hati orang lain."

"Bisa juga seperti itu," Kino menyetujui. "Terus kenapa kalau mereka orang gila yang berbahaya?"

Aku memandang Kino. "Gila itu penyakit menular."

Dia tersenyum kecil, menatapku dari balik bulu mata. "Kamu pikir kamu orang waras?"

"Maksudnya?"

"Kamu juga gila."

Aku mengernyit. "Kalimatmu mengingatkan aku pada Laksamana."

"Ya, karena dia juga gila. Ilusi gila."

"Menurutmu Laksamana itu hanya ilusiku? Aku berilusi, gosip dari siapa?"

"Ah, masih terlalu khawatir." Kino tersenyum dengan ramah seperti sedia kala. Dia mengacak rambutku lagi. "Jangan marah. Setiap orang yang hidup di dunia selalu punya ilusi. Bahkan jika itu hanya ilusi optik semata. Kalau menurutmu Laksamana orang sungguhan, maka dia orang sungguhan. Mungkin hanya jalan pikirannya yang ilusi."

PHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang