1
***
Biar kuceritakan tentang seorang laki-laki yang membenci gelap, tapi menyukai lembayung di ujung barat. Tentang laki-laki yang sebetulnya punya fisik menarik, tapi tertutup oleh tindak tanduknya yang canggung di balik sikap tenangnya. Optimis dan ketakutan berbaur secara sempurna dalam sorot matanya. Dia punya tatanan rambut yang tidak sesuai. Terlalu nyaman dengan pakaian yang dikenakan meskipun setelan itu nyaris tidak pantas, mata yang takut melakukan kontak.
Laki-laki yang menjadi tokoh pertama yang akan aku perkenalkan kepada kalian. Si Horizon Senja.
Aku membuka tutup belakang ponsel pintar, mencabut baterai, dan mengambil kartu simnya begitu bus yang sedang kutumpangi hampir tiba di pemberhentian terakhir. Ini langkah yang bagus untuk memulai sebuah petualangan liar; membuang seluruh hal terakhir yang masih menghubungkanku dengan rumah.
Sebetulnya aku mau sekalian membuang ponsel pintar ini, tapi kupikir, suatu hari aku mungkin akan membutuhkannya. Aku perlu diingatkan berkali-kali, kalau sekarang aku hidup pada zaman ponsel lebih penting daripada kitab suci.
Aku memandang ke atas dari balik kaca jendela, menikmati saat-saat terakhir berada dalam bus mewah ini. Langit yang menggantung di atas sana memberikan atmosfer yang berbeda dalam benakku. Seolah ada batas tidak langsung antara langit di kota dan di kampung tempatku berasal, padahal itu adalah langit yang sama.
Dulu, setiap melihat penampakan kota di televisi, aku selalu merasa kalau kota menawarkan segalanya.
Gairah dan ketenangan. Semangat dan putus asa. Positif dan negatif. Kenyamanan sekaligus ketidakamanan. Semuanya. Kota menawarkan apa saja yang mereka miliki, dan mereka memiliki semuanya.
Sekarang aku tahu kalau perasaanku betul.
Aku menyukai semua itu. Kota berarti petualangan maha gila yang akan aku jalani ke depannya.
Bus berhenti di pemberhentian terakhir dan aku bersemangat untuk turun. Terminal terlihat sangat ramai dan sibuk. Kesibukan yang terasa tidak wajar di mataku yang terbiasa dengan sistem alon-alon asal kelakon di kampung.
Ini adalah kesibukan khas kota. Inilah kesibukan orang-orang kota.
Kartu sim ini kugenggam sesaat, membayangkan bahwa sekarang akan banyak pesan masuk atau telepon tidak terjawab dari tempat yang selama ini kusebut rumah. Tidak, itu bukan rumahku, itu rumah orangtuaku. Itu rumah mereka, surga mereka. Aku belum menemukan surgaku sendiri.
Kubuang kartu sim itu bersama dengan kantong plastik berisi muntahan ke jaring sampah terdekat. Ransel hitam berada di punggungku dengan kuat beserta satu tas berukuran sedang, berisi pakaian dan segala hal untuk menunjang hidupku. Mataku nyalang memperhatikan aktivitas terminal, tapi otakku berpikir dengan cepat.
"Hati-hati, dong!"
Bisa kurasakan bagian perutku basah dan dingin. Aku menunduk untuk melihat seberapa banyak kemejaku terkena tumpahan es kopi, kemudian berbalik untuk melihat si pemilik es kopi yang sudah kembali mengejar waktu.
Aku mengangkat topi sekilas.
Kendaraan lalu lalang di depanku. Menyemburkan asap sekaligus rasa pengap yang menggumpal dalam paru-paru. Semua terlihat terburu-buru. Bahkan detik jamku seakan berputar lebih cepat di kota ini.
Tik-tok, tik-tok, tik-tok, tik-tik-tik-tik-tik.
Mereka berjalan dan berkendara dengan wajah frustasi. Seolah-olah gedung kantor tempat mereka bekerja akan hilang jika mereka terlambat seperempat detik saja. Seolah bersantai akan membakar mereka dalam penderitaan yang berkepanjangan. Termasuk si pemilik kopi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PHI
RomanceWho am I? Who is he? I am mad enough to standing beside you? I running round the world, but I find nothing. I find nothing, but you. A story by dlittlerains™ Copyrights ©® d'littlerains Original idea by d'littlerains Rank: #1 FiksiSains