Episode 5

116 9 2
                                    


5

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alikuot adalah homonim. Homonim artinya sebuah kata yang memiliki ejaan dan pelafalan yang sama, tapi punya makna yang berbeda. Homonim alikuot bisa bertindak sebagai nomina dan adjektiva.

Dalam istilah kimia, alikuot bertindak sebagai nomina yang memiliki arti sebagai bagian dari keseluruhan. Sedangkan dalam istilah matematika, alikuot bertindak sebagai adjektiva dan berarti bertindak atau menjadi faktor bilangan lain.

Alikuotyang dikatakan oleh Laksamana mencakup fungsi nomina dan adjektiva sekaligus.Laksamana adalah bagian dari mereka. Bagian dari semua keanehan ini, walaupundia mengatakan bahwa dia hanya sebagai faktor lain yang mendukung. Dia menjadibagian sekaligus faktor lain. Agak membingungkan, ya?

 Agak membingungkan, ya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bangun!"

Biasanya, ini yang dilakukan Rah setiap dini hari sejak keributan yang terjadi di lantai bawah; memasang muka masam dan mengerjakan segala sesuatu dalam diam. Rah selalu membersihkan kamar seakan aku tidak ada di sana dan tidak sedang tertidur. Tindakan Rah yang seperti ini membuatku ikut bangun pagi sebelum akhirnya tidur lagi setelah Rah enyah ke lantai bawah.

Pada hari ketiga setelah keributan, aku mulai membiasakan diri dengan keberadaan Rah di kamar saat dini hari dan tidak lagi terbangun oleh kegiatan bersih-bersihnya yang berisik. Tapi pagi itu berbeda.

Aku mengerjap beberapa kali setelah sebuah tepukan keras menghantam pantatku dan suara desisan tajam masuk ke dalam gendang telingaku. Rah sudah berdiri di ujung tempat tidur dengan mata nyalang.

"Apa?" tanyaku dengan suara berat, masih mengantuk tapi berusaha waspada.

"Saya mau bertanya sesuatu pada sampeyan." Rah menatapku dingin. Rasanya seperti melihat mata orang mati, tidak ada cahaya selain pantulan lampu kota dari luar jendela.

"Apa?"

"Laksamana sering ke sini?"

Aku mengerjap. "Ya, setiap siang."

"Kalau dia datang lagi siang ini, usir dia jauh-jauh."

Entah bagaimana, aku tidak terkejut mendengar permintaan Rah. Laksamana adalah bagian dari mereka, tetapi dia faktor lain yang enggak diinginkan namun tetap berpengaruh. Aku menatap Rah lurus-lurus. "Enggak bisa."

Rah melirik tajam ketika aku menolak permintaannya. "Kenapa?"

"Laksamana selalu datang dengan pelanggan. Sebagai tambahan, Kaisar enggak pernah nyuruh saya untuk mengusir orang. Kalau kamu belum tahu, yang saya anggap sebagai bos hanya Kaisar dan saya hanya mendengar perintah Kaisar."

"Dia datang bersama pelanggan? Sam? Bersama pelacurnya, maksud sampeyan?"

"Itu terlalu kasar."

"Apalagi kalau bukan pelacur? Bahkan pelacur masih punya label harga."

Aku mendongak untuk menatap Rah dan mengakui dalam hati bahwa apa yang dikatakan wanita tua itu benar. Bahkan pelacur masih punya label harga. Perempuan-perempuan itu? Entah, kurasa mereka teman yang memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Seperti hewan.

"Bagaimanapun, saya enggak bisa mengusir Laksamana. Dan kamu bukan orang yang tepat untuk memerintah saya."

"Ini permintaan Kaisar!" seru Rah dengan gusar. Aku melihat ada gurat kekhawatiran di mata tuanya yang membuatku bertanya-tanya kenapa seorang Bude memperlakukan kedua keponakan kembarnya dengan cara yang sama sekali berbeda? Dosa macam apa yang membuat Laksamana diperlakukan dengan berbeda?

Aku mengangkat alis. "Kalau begitu, suruh Kaisar untuk menyampaikan langsung kepada saya. Saya bukan jenis orang yang menerima pesan dari orang ketiga, kecuali itu surat tertulis. Karena menerima pesan dari orang ketiga tanpa bukti tertulis dan percaya tanpa menyelidiki, sama saja dengan kabar burung. Saya benci kabar burung."

Warna wajah Rah berubah dengan cepat dari pucat menjadi merah kehitaman. Aku bisa melihat perubahan itu meskipun suasana kamar ini remang-remang. Dia tersinggung, aku tahu itu dan aku tidak peduli. Manusia memang tidak boleh melanggar prinsip dan ini prinsipku.

"Saya ini Budenya Kaisar!" Artinya, saya bisa dipercaya untuk mewakili Kaisar memberi perintah.

"Bahkan seorang ibu bisa membuang anaknya di tempat sampah," tukasku tak kalah tajam. Artinya, bahkan seorang ibu tidak bisa dipercaya di zaman sekarang. Rahang Rah menegang oleh kemarahan. Aku membalasnya dengan tatapan menantang.

"Sampeyan keras kepala!" wanita tua itu lalu berderap menuju pintu keluar. Langkah kakinya mirip suara kawanan gajah. "Saya peringatkan sampeyan, Laksamana adalah satu-satunya hal yang berbahaya di sini! Satu-satunya hal yang patut sampeyan waspadai. Sampeyan akan menyesal karena mengabaikan permintaan saya."

Kemudian Rah menghilang bersamaan dengan dentaman dari pintu yang dibanting. Meninggalkan aroma ketegangan di dalam sini. Wanita tua pemarah yang tidak adil. Aku tidak punya alasan untuk menyetujuinya, karena justru, Laksama adalah satu-satunya orang normal yang bisa kuajak berinteraksi.

Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang sengaja kubuka tadi malam supaya kamar tidak terlalu pengap. Di luar sana, terlihat banyak bertebaran kunang-kunang berbagai warna yang berkedip-kedip, kebanyakan putih. Tapi sesungguhnya itu bukan kunang sungguhan. Itu hanyalah lampu-lampu. Kunang-kunang asli sudah punah di sini, yang ada hanya artifisial, bahkan mungkin ilusi yang tercipta dari mata yang malas mengamati.

Kunang-kunang seolah bagian dari kota, tapi sesungguhnya mereka sama sekali berbeda. Ilusi. Tidak ada.

Sama seperti itu, aku dan Laksamana juga begitu. Terlihat berada dalam satu kesatuan dengan keluarga, tapi sesungguhnya tidak. Aku memeluk lutut mengingat tatapan dingin Bapak dan suara tertahan Ibu ketika para tetangga mulai menyerangku. Aku teringat bagaimana matinya mata Rah ketika menyebut nama Laksamana dan menyuruhku untuk mengusir laki-laki itu jika datang.

Aku mungkin tidak menyukai kebanyakan kunjungan Laksamana. Dia sembrono, meskipun tampil rapi, gaya bicaranya asal-asalan dan menyinggung. Jelas-jelas aku membenci dia, tapi aku mesti mengakui bahwa kami berada pada posisi yang sama. Kami bagian dari sesuatu, sekaligus bukan bagian dari situ. Kami sama-sama mengambil peran sebagai alikuot dalam dua definisi.

Kami sama-sama dibuang dan pada akhirnya membuang diri. Dari kumpulan yang kami sebut keluarga.

Akumembenamkan wajah di antara dua lutut, merasa sedih untuk pertama kalinya sejaktiba di kota. Aku dan Laksamana, sama seperti bayang kunang-kunang kota darijauh, hanya ilusi dan artifisial. Tidak ada yang menyadari keberadaan kami,meskipun kami ada.    

PHITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang