• BAB 3 : DIA LAGI? •

135 44 24
                                    

     Pertemuan itu tidak berarti jika kamu tak saling mengerti. Mengerti mengapa harus ada kata pisah di ujungnya temu.
-Cahaya Senja

***

Macet.

Satu hal yang paling ku benci di kota metropolitan ini. Ujung ke ujung yang akan kalian temui adalah jalanan macet yang dipenuhi oleh kendaraan beroda empat ataupun beroda dua, juga bus kota, truk, dan kendaraan lainnya yang saling sahut-menyahut membunyikan klakson kendaraan masing-masing. Membuat suasana jadi lebih menyebalkan dua kali lipat. Tidak bisakah mereka berhenti menekan tombol klakson yang tidak berguna sedikitpun untuk membuat macet berkurang? Jika berguna untuk membuat macet menghilang sih tidak masalah, yang salah itu ... ketika sudah berisik tin sana tin sini tapi hasilnya nihil, justru hanya membuat telinga pengang dan dongkol mendengarnya.

Telat 5 menit dari jam biasaku berangkat ke sekolah adalah hal yang buruk di pagi ini. Bagaimana tidak, sekarang arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 06.45 WIB. Tapi aku masih saja berada di jalanan yang macet ini. Tamatlah riwayatku 15 menit lagi ... bel sekolah akan berbunyi. Semoga hari ini waktu berpihak padaku.

Aku merutuki kesialan ku di pagi ini, bangun kesiangan karena semalaman begadang mengerjakan PR. Udah kesiangan, perut pun tak mau di ajak bekerja sama dengan mengajak boker terlebih dahulu. Haduh kalo sudah bertemu dengan urusan boker-bokeran, sudahlah pasrah aku. Aku tuh orangnya paling gak bisa kalau boker hanya 5 menit, minimal 10 menit. Maksimal 15 menit. Maka lengkaplah kesialan ku dengan mencari-cari dasi yang tidak kunjung ketemu—yang ternyata sedang tersampir cantik di pundakku. Apes emang nasib ku.

Akhirnya yang aku lakukan adalah mengeluarkan ponsel canggih dari saku rok. Ingin bertanya kepada Rona mengenai bel sekolah.

Ron, bel udah bunyi belum?

Tak lama kemudian, munculah jawaban dari dia. Aku menghela napas, untunglah kali ini Rona fast respon. Tidak seperti biasanya yang jika di chat sekarang, balasannya akan datang 2 jam kemudian, atau bahkan lebih lama lagi.

Sependengaran gue sih ... belom.

Eh curut, lo udah dimana? Bolos gue tampol, lo.

Aku menahan tawa membacanya. Ini sih alamat membolos benaran. Aku lagi malas sekali berurusan dengan guru piket hari ini. Sedang malas berolahraga jika dihukum untuk lari mengelilingi lapangan, malas menjadi tukang kebun dadakan jika disuruh menyabuti rumput liar di lingkungan sekolah dan memunguti sampah. Malas beramal jika uang jajan ku di suruh serahkan kepada guru piket untuk di masukkan ke pemasukan uang kegiatan sekolah.
Malas mendengar ceramah di pagi hari jika sebelum di hukum harus mendengarkan celotehan guru piket.
Dan kemungkinan yang lainnya jika aku tetap memaksakan diri ke sekolah di jam yang seperti sekarang.

Intinya aku malas jika nama ku tercantum di daftar murid yang telat hari ini. Sudah kebanyakan. Nanti kasian guru piketnya kalau kepenuhan bingung mau tulis di mana. Hehehe. Akhirnya aku mengirim balasan kepada Rona.

Ron, pinter banget sih lo hari ini, kayaknya gue mau bolos beneran deh.

Bye bye.

Selamat bersenang-senang dengan fisika, matematika minat dan matematika wajib di hari Senin.

Muach.

Haha, waktu yang tepat untuk membolos, mata pelajaran di hari ini pun semakin mendukungku untuk tidak belajar di sekolah hari ini.

Hurt LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang