• BAB 8 : TENTANG MERPATI •

61 31 25
                                    

Kalau gak ada orang di sekitar lo yang setia kaya burung Merpati, gue bakal jadi pemecah rekor itu ... buat lo.

-Fajar Surya

***

Hari ini langit berwarna gelap tidak secerah biasanya, dan terik matahari yang menyengat kulit itu pun tidak ada. Digantikan oleh kilat petir, lengkap dengan suara gemuruhnya.

Pertanda akan datang hujan.

Kelasku sedang tidak ada guru. Jam kosong. Jika cuaca seperti ini, pasti kelas lainnya pun berkondisi sama. Tidak ada guru juga. Sebagian dari temanku yang laki-laki tidak peduli dengan cuaca mendung di luar, ada yang asik tidur dengan tas sebagai bantalan kepala di pojok kelas, ada juga yang asik bermain game online dari ponselnya masing-masing. Dan sisanya lagi dari teman-temaku perempuan yang kebanyakan dari mereka sedang panik, teriak-teriak jika kilat petir terdengar dan cahayanya masuk ke kelas kami.

"Aduh, ampun, Gusti. Udahan dong petirnya, serem tau." Teriak Tuti di pojok kelas sambil menutup telinga dan memejamkan matanya. Dia takut kepada petir. Pengidap astraphobia.

Mendengar suara teriakan dari Tuti yang takut akan petir itu pun membuat Wowo menggeliat dari tidurnya yang terlihat pulas. "Berisik, Tuti. Ganggu bogan gue aja lo," ucap Wowo dengan suara khas bangun tidurnya itu.

"Berisik lo, anak dugong. Takut nih gue," jawab Tuti dengan mata pasrah, "kapan sih bel pulang bunyi?" tanya Tuti sambil memeluk tas nya di depan dada, menghilangkan rasa cemasnya, sambil meremas tas tersebut.

"Bentar lagi juga bunyi, slow aja, anak biawak." Ujar Wowo menenangkan Tuti, "btw, bogan adalah bobo ganteng." Jawab Wowo sambil bangun dari tidurnya dan mengucek matanya, agar rasa kantuknya menghilang. Dan kini matanya menjadi lebih segar.

"Najis." Dengus Tuti menanggapi jawaban Wowo barusan. Lalu mendelikkan matanya, "jadi orang kenapa pede banget sih, Wo. Heran gue."

Kriiiing ... kriiiing ... kriiiing....

Terdengar bunyi bel sekolah yang menandakan jam pelajaran telah usai untuk hari ini, dan waktu untuk pulang ke rumah masing-masing pun telah tiba. Semua orang serempak mengemasi barang mereka masing-masing. Lalu berlomba-lomba keluar kelas, menuju parkiran menjemput kendaraan tercinta, ataupun keluar gerbang menghampiri orang yang menjemput mereka.

Aku awalnya ingin pulang bersama Rona.... Tapi, Rona bilang dia harus ke rumah tantenya terlebih dahulu. Karena ada keperluan. Akhirnya aku memutuskan jalan kaki sendirian, menyusuri jalanan yang ramai akan kendaraan berlalu-lalang. Menuju pangkalan ojeg. Ponselku lagi-lagi baterainya low. Sehingga aku tidak bisa memesan ojeg online andalanku.

Baru saja aku ingin berbelok di pertigaan, ingin menyeberang jalan untuk menuju pangkalan ojeg, tiba-tiba ada yang mengklakson ku dengan motornya. Aku spontan menghentikan langkahku dan menengok ke belakang.

Dia Fajar.

Fajar menepikan motornya ke pinggir jalan yang jaraknya dekat denganku. "Cah, ngapain?" tanyanya memulai percakapan sambil membuka kaca helm.

"Eh elo, Jar. Gue mau ke pangkalan ojeg nih, biasa mesen ojeg. Mau balik ke rumah," kataku menjawab pertanyaannya, berusaha memilih kalimat terbaik agar tidak terdengar canggung. Astaga, siapapun yang bisa berkomunikasi tanpa canggung kepada orang lain ... tolong, ajarkan aku!

Tapi, nampaknya Fajar adalah sosok yang sangat santai terhadap siapapun, tidak seperti aku. "Sini bareng gue aja, sayang amat duit lo di pake bayar ojeg, mendingan uang ojegnya traktir gue makan bakso."

Hurt LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang