Malam yang cerah.
Izumi mengembuskan napas berat. Mata sayunya menyorot malas api unggun yang berada tak jauh dari hadapannya. Dagunya perlahan turun, bersanggah pada lipatan tangan di atas lutut.
"Sepertinya, ini akan menjadi malam yang berat." Shisui yang berada tak jauh darinya bergumam, menatap kosong nyala api.
Izumi melirik lelaki itu sekilas, lantas mengangkat dagunya kembali. "Aku masih tidak mengerti denganmu."
Lalu, dengkusan cukup keras lolos. Membuat Shisui mengalihkan atensinya, menatap lekat gadis Uchiha di sampingnya. Namun, seolah tak peduli akan tatapan itu, Izumi memilih bangkit dari posisi duduknya. Mengabaikan Shisui yang kini sampai mendongakkan kepala, hanya untuk menatapnya.
Gadis itu bergeming, meluruskan tatapan tajamnya ke depan. "Aku mau keluar."
Shisui menghela napas. Ia tahu Izumi bukan sedang meminta ijin, tapi hanya ingin memberitahunya. "Jangan terlalu jauh. Keadaan di luar masih berbahaya."
Izumi tidak menjawab, ia langsung membawa langkahnya menuju lorong yang menghubungkan pintu goa—tempat persembunyian mereka saat ini yang kata Shisui aman. Membiarkan tatapan nanar dari lelaki Uchiha itu, menghunus punggungnya.
"Maaf," lirih Shisui sepersekian detik kemudian, nyaris menyamai bisikan. Kepalanya tertunduk. Ia paham, semua ini memang salahnya. Izumi sangat pantas untuk membencinya setelah semua yang ia lakukan.
"Ada apa?" Shisui sontak mendongak kembali, menatap miris Itachi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekatnya.
"Tidak ada."
Itachi menyipitkan mata, tapi tak ingin bertanya lebih jauh. Ia memandang sekeliling, sama sekali tidak menemukan objek yang sedang ia cari. "Kau lihat Izumi?"
"Dia baru saja keluar," Shisui menghela napas berat. "Apa Sasuke sudah tidur?"
"Ya," Itachi diam-diam melempar pandangan prihatin pada Shisui. Sedikit-banyak, dia bisa mengerti beban berat yang tengah ditanggung oleh sahabat sekaligus kakaknya itu. "Istirahatlah. Kau juga harus memulihkan tenagamu."
Shisui mengangguk samar, menyunggingkan senyum tipisnya. Ia tahu, Itachi memang selalu bijaksana dan pengertian. Seperti biasa.
🌌
Ketiga sosok Anbu yang baru saja sampai di salah satu titik hutan itu, menatap bergantian mayat rekan-rekannya yang tergeletak cukup mengenaskan.
Cahaya bulan purnama kali ini, menyukupkan mereka untuk bisa melihat jelas objek yang tengah tertutupi oleh gelapnya malam. Sejenak, hening menyelingkupi mereka.
"Mereka sudah tiada." Suara baritone—salah satu pria di antara mereka—memecah kesunyian.
"Dugaan kita benar." Seorang Anbu wanita menyahut, suaranya memelan nyaris putus asa.
Ketiga anggota Anbu itu terdiam lagi hingga beberapa saat. Sampai suara baritone lain yang muncul, membuat dua orang Anbu di sebelahnya saling beradu pandang sejenak. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Sepertinya, tidak ada jejak sama sekali." Sama-sama buntu akan jalan keluar, sang Anbu perempuan bergumam tak yakin. "Mereka pasti sudah sangat jauh dari tempat ini."
"Aku yakin, ini bukan hanya ulah mereka. Tapi—"
"Ada campur tangan ketua kita," Sahut Anbu lelaki yang satunya. "Dia … benar-benar telah berkhianat."
Bagi mereka, mengkhianati Anbu adalah kesalahan fatal. Siapa pun itu, harus siap menerima konsekuensinya. Terlebih, setelah berkhianat justru membela musuh. Bisa mereka pastikan, orang itu akan ikut menjadi buronan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐵𝑙𝑜𝑜𝑑𝑦 𝐴𝑛𝑖𝑚𝑜𝑠𝑖𝑡𝑦
FanfictionTentang Itachi dengan segala rahasianya. Tentang Izumi dengan semua dendam dari masa lalunya. Tentang pelarian Shisui, dan pengejaran ketiganya terhadap Danzo. Mereka tidak menyangka jika jalan yang mereka pilih malam itu akan menimbulkan kekacauan...