Kata-kata Mom begitu membekas dalam benak Jaehyun. Namun entah mengapa ia masih belum mampu melupakan Sejeong begitu saja. Ada banyak kenangan baik dan buruk selama sembilan bulan mereka menjalin hubungan tanpa status itu.
Namun Jaehyun memilih untuk tidak larut terlalu dalam. Mom mengajarkannya untuk tegar. Bodoh jika ia harus menyerah pada hidup hanya karena cinta. Jadi Jaehyun kembali menginjakkan kakinya di asrama dua hari menjelang semester baru dimulai.
Desas-desus sering kali menyambangi telinganya. Mulai dari orang-orang yang masih menyangkut pautkan dirinya dengan Sejeong hingga berita bahwa Sejeong mengambil cuti semester ini.
Jaehyun tidak ingin perduli, meski beberapa kali masih menaruh atensi.
Lagipula itu bagus. Tidak melihat Sejeong akan membantu Jaehyun dalam menyembuhkan luka pertamanya.
“Aku pikir kau juga akan ambil cuti semester ini.”
Jaehyun menyingkirkan tangan Ten dari pundaknya. Bukan apa-apa, lelaki itu lebih pendek. Jaehyun jadi harus berjalan bungkuk jika tidak menyingkirkan lengan Ten dari sana.
“Aku bukan lelaki yang mudah putus asa, kau tau.”
Ten tertawa renyah, dan Jaehyun menyusulnya.
Kalau dipikir-pikir Jaehyun merasa bersyukur dipertemukan dengan Ten. Meski acap kali cerewet dan mengganggu, Jaehyun bisa jamin seratus persen bahwa tidak akan ada manusia lain yang tahan dengan sikap cueknya kecuali Ten.
Sebenarnya selama ini Ten banyak membantu. Jaehyun saja yang buta arah dan memilih untuk tidak mengakuinya.
Semester itu berjalan dengan baik. Setelah percakapan panjangnya dengan Mom, Jaehyun mulai berpikir bahwa Ten ada benarnya. Hanya Mom yang berhasil menenangkan badai dalam benak Jaehyun. Lalu membuatnya membuka mata.
Perbincangannya dan Mom berlangsung dari hal-hal sederhana seperti bagaimana kuliahnya selama ini atau bagaimana dengan teman-teman barunya di kampus. Pertanyaan sederhana yang bahkan terasa sulit untuk Jaehyun jawab karena satu tahun pertama ia lewati hanya bersama Sejeong.
Mom tidak marah saat ia menjawab dengan jujur. Lalu mulai bertanya alasannya jarang menghubungi rumah atau tidak mencoba mengikuti beberapa kegiatan di kampus. Lagi-lagi Jaehyun merasa buntu, segala jawabannya terus mengarah pada Sejeong.
Ia kemudian sadar bahwa lagi-lagi Ten ada benarnya. Sejeong membawa Jaehyun pada titik dimana ia tidak mengenal apapun kecuali gadis itu.
Jadi kali ini Jaehyun memutuskan untuk memulai masa perkuliahan yang semestinya.
“Prof. Lee sudah mengunggu.”
Di akhir semester Jaehyun memantapkan diri untuk mengikuti sebuah lomba karya tulis yang akan ia presentasikan di Jerman, jika ia berhasil lolos tahap seleksi awal.
“Sebenarnya kamu tidak bisa berangkat sendiri, Jaehyun. Jadi aku menggabungkanmu dengan seorang co-author. Dia mahasiswa tingkat pertama, sedang mengoreksi kembali berkasmu di perpustakaan. Cobalah untuk bonding dengannya karena kalian akan melakukan presentasi berdua jika proyek ini lolos.”
Kalimat itu membawa Jaehyun menuju perpustakaan yang sepi. Saat itu masih jam istirahat siang dan Jaehyun sudah menyelesaikan kelas terakhirnya.
Jadi ia bersantai, membeli terlebih dahulu dua kaleng kopi instant dan menyapukan mata pada penjuru perpustakaan.
Perpustakaan kampusnya cukup besar. Namun menemukan seseorang di sana bukanlah hal yang sulit karena minat baca mahasiswa akan kalah dengan raungan monster dalam perut mereka pada jam-jam seperti ini.
Jaehyun menemukan sesosok gadis yang duduk di pojok ruangan. Ada empat buah buku yang tersebar di sekitarnya. Notes, berbagai alat tulis dan post it.
“Park Jiyeon-ssi?” panggil Jaehyun memastikan setelah berdiri di depan mejanya.
Kedua bola madu itu mendongak dan melebar disaat yang bersamaan. Mata indah terbalut kacamata perak yang membingkai wajahnya dengan pas. Matanya terlihat berbinar, dan sedetik saja Jaehyun sempat merasakan desiran itu kembali hadir.
“Oh, Jung Jaehyun sunbaenim?”
Jiyeon berdiri, lalu membungkuk dengan kedua tangan saling bertumpu di perut. Benar-benar sopan.
“Jangan terlalu formal. Kopi?”
“Ah.. ne. Gomapseumnida, sunbae.”
Jiyeon meraih sekaleng kopi yang Jaehyun berikan, menggenggamnya dengan kedua tangan lalu mereka sempat berkenalan singkat sebelum sibuk membahas proyek yang tengah diperiksa Jiyeon saat ini.
“Apa aku harus menambahkan metode lain disini?”
“Ne?” Jaehyun merasakan kebingungan Jiyeon, tapi ia penasaran bagaimana gadis itu akan menjawab pertanyaannya.
“S-sunbae.. aku masih tingat pertama jadi.. belum terlalu mengerti metode yang digunakan. Maaf tidak bisa banyak membantu. Prof. Lee bilang aku hanya co-author untuk proyek ilmiah sunbae.” aku Jiyeon.
Jaehyun tersenyum. Tidak tersinggung sama sekali. Mereka kembali melanjutkan diskusi setelahnya. Hingga kemudian suara perut Jiyeon membuat mereka terdiam sejenak. Saling pandang, Jaehyun memutus keheningan dengan tawa rendahnya.
“Ya Tuhan, aku pasti memforsir waktumu secara berlebihan. Bagaimana kalau kita lanjutkan lain kali?”
“Ne.” Angguk Jiyeon mantap. Seperti sudah menunggu lama agar Jaehyun mengatakan kalimat itu. “Lagipula sudah hampir gelap, aku harus pulang sunbae.”
“Kamu dari seoul?”
“Aniya, aku tinggal di asrama. Tapi.. aku tidak terbiasa berada di luar rumah saat malam hari jadi—“
“Boleh aku mengantarkanmu pulang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Pursuit Happiness | Jung Jaehyun
Lãng mạnA long journey to find you - Jung Jaehyun.