02

4K 489 70
                                    

Tenang. Menyenangkan.

Seperti seharusnya sebuah pameran.

Umumnya orang akan datang ke pameran sambil mengantongi beberapa nama seniman yang familiar. Sebagai penikmat rutin, sebagai pendukung yang menanti-nanti setiap karya seniman tersebut. Tapi gue merasa lebih damai saat menghadirinya tanpa tau apapun. Siapa saja yang terlibat, karya apa saja yang ditampilkan. Biarlah gue ketahui saat sudah datang saja. Rasanya jadi berbeda. Dari karya yang dipamerkan, dari pengunjung yang datang, juga nuansa yang ditawarkan. Rasanya lebih sendu. Lebih haru.

Tanpa benar-benar tau siapa yang membuat itu, hanya untuk menikmati karyanya.

Perasaan seperti itu.

"Eh!"

Senikmat itu, sampai membuat gue lengah.

"Sorry."

Gue langsung meminta maaf. Ditabrak seseorang ketika sedang asik-asik memandang mahakarya itu pasti tidak menyenangkan.

"It's okay."

Baik gue atau orang tadi kemudian kembali larut pada sebuah lukisan di hadapan kami. Menampilkan punggung seorang laki-laki yang dikelilingi oleh coretan abstrak dan bayang wajah besar yang mengisi sebagaian lukisan itu.

"Menurut lo, ini artinya apa?"

Gue menoleh. Dia, orang yang tadi gue tabrak sedang menatap lurus pada lukisan di hadapan kami. Untuk beberapa jeda gue kira dia bicara dengan orang lain, tapi di sini hanya ada kami.

"Ngomong.. sama gue?"

Dengan bodohnya, gue menunjuk diri gue sendiri. Lalu dia menoleh pada gue sambil celingukan.

"Memang ada orang lain?"

Beberapa kali gue mengerjap, bingung. Maksudnya, untuk ukuran orang yang baru pertama bertemu, orang ini cukup sok akrab. Tapi karena gue terintimidasi oleh tatapannya, gue memilih membuang muka. Melucuti lukisan tadi sambil menyimpulkan cerita macam apa yang coba pelukisnya sampaikan.

"Privatroom."

Gue masih bisa melihat kini dia tengah menatap gue walaupun pandangan gue sepenuhnya tertuju pada lukisan tadi.

"Mungkin kesepian. Mungkin juga kepenatan. Entahlah. Yang jelas, gue merasa nyeri melihat bagaimana dia berdiri membelakangi kita. Seperti judulnya, seolah dia lelah diperhatikan, seolah dia meminta ruang untuk dirinya sendiri."

Gue begitu saja berujar. Sebenernya, gue juga tidak tau.

"Bravo."

Tapi dia dan tepuk tangan pelannya membuat sendu gue teralihkan. Berganti pada eksistensi dirinya dan sebuah kamera yang tergantung di lehernya.

"Seni dan penikmat seni itu emang selalu luar biasa."

Dia nampak masih kagum. Heran. Entahlah, yang jelas gue yakin beberapa orang lewat memperhatikan kami karena dia cukup berisik di tengah ruang pameran yang sunyi ini.

"Bukannya Fotografi itu juga seni?"

Gue bertanya seadanya, dan dia langsung menyentuh kamera miliknya.

"Itu ada di jalur yang berbeda."

Gue menjenjang alis. "Beda apanya?"

"Waktu memotret, gue hanya menangkap momen yang ada. Tanpa berpikir maksud, atau makna. Tanpa berpikir harus gue jadikan bagaimana foto itu supaya orang lain bisa mengerti, sebab dia sendiri sudah menjelaskan segalanya."

Dia tersenyum. Megah.

"Karena setiap Foto sudah menjeritkan kisahnya sendiri."

Dalam beberapa hitungan gue terdiam. Menikmati binar matanya yang meletup-letup. Juga bagaimana kedua pipinya menyembul naik. Gue tidak tau mendengar seseorang berbicara bisa semenyenangkan ini.

L A K U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang