06

2.1K 398 83
                                    

Seharian ini gue habiskan bersama Binar.

Lebih tepatnya, dengan riang tawanya, manis senyumnya, juga berkali-kali pukulan yang dia layangkan pada gue karena gue mengatakan sesuatu yang membuat semburat kemerahan merambati kedua sisi wajahnya.

Ah, iya, juga satu hal lagi dari dirinya yang baru gue temui hari ini, jailnya dia.

Gue masih mempertanyakan rencana apa yang sedang dilancarkan semesta ketika akhirnya, Binar menghubungi gue seminggu lalu.

Bohong kalau gue tidak berharap akan mendapatkan sebuah panggilan setelah gue menyimpan nomor kontak gue di ponselnya waktu itu. Untuk beberapa hari pertama gue bahkan berkali-kali menertawai diri gue sendiri karena kedapatan antusias mendengar dering notifikasi lantas kecewa melihat ternyata bukan dari yang gue harapkan. Lalu di saat gue merelakan saja fakta bahwa memang mustahil dia menghubungi gue duluan, sebuah konspirasi pekerjaan justru membuat itu terjadi.

Gue main musik, tepatnya piano.

Dan sepanjang bertahun-tahun gue menekuni kesukaan gue itu, tiba-tiba saja gue merasa lega. Lega karena gue bisa main musik, lega karena belakangan gue menerima cukup banyak tawaran perfom, juga lega karena jika tidak, entah harus berapa lama gue menunggu untuk melihat wajah itu lagi.

"Kereta gue jam setengah sebelas."

Suaranya memecah fokus gue.

Mengembalikan lagi entitas dirinya yang sesaat tadi kabur dalam pandangan gue.

"Mau gue anterin aja?"

Oh, mungkin gue gila. Besok pagi gue motret di Lembang. Tapi siapa peduli.

"Nggak usah, Da. Gue bisa naik ojek ke stasiun."

"Bukan, maksud gue ke Jakarta."

Gue lihat dia mengerjap bingung, sementara diam-diam gue menyusun strategi jika dia mengiyakan tawaran gue. Mungkin gue bisa minta tolong Julian untuk ambil alih kerjaan gue di Lembang besok atau-

"Gila kali."

Gue menoleh.

Emang.

"Nggak lah Da, emang Bandung-Jakarta cuma selemparan batu."

"Justru karena itu mau gue anterin, Binar. Ini tengah malem, dan lo sendirian."

"Di kereta ada banyak orang, Arda."

Iya juga sih.

Dia memandang gue lekat, sedang gue tau berkata apapun tidak akan membuat tawaran mengantar dia pulang terdengar masuk akal.

"Tapi lo jauh-jauh ke Bandung cuma untuk tanda tangan gue doang."

"It's okay, itu udah jadi tugas dan tanggung jawab gue."

"Jadinya lo pulang malem dan nggak bisa istirahat karena gue ajak keliling dulu."

Dia ketawa. Candu.

"That was fun. Gue seneng kok bisa nyobain soto terbeken se-Trunojoyo terus liat setan tengah hari bolong."

Ada unsur mengejek dalam nada bicaranya tapi karena bahkan versi begitunya seorang Binar masih tetap menyenangkan, jadi gue maafkan.

"Kalau gitu nanti gue ajak ke Bandung Atas, katanya bagus buat liat bintang."

"Beberapa menit lalu lo baru memasang wajah menyesal karena ngajak gue kelayapan dibanding istirahat nyambi kerja lho, Da."

Gue nyengir.

"Oh iya, abis, nggak tau kenapa gue pengen ngasih liat lo banyak hal bagus."

Dia mengernyit.

"Why?"

L A K U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang