03

2.9K 419 87
                                    

Gue sudah menghela napas panjang-panjang untuk menghibur diri karena mengira dia benar-benar tidak akan datang.

Gue tidak tau kenapa, tapi sepanjang hari mata gue tidak bisa tidak melirik ke arah pintu. Sedikit kecewa, juga sedikit khawatir karena hingga seluruh pengunjung melangkahkan kaki keluar, dia belum juga datang.

Perlu beberapa menit bagi gue untuk rela, sebenarnya. Karena dari sekian banyak cerita yang ingin gue tunjukkan di pameran ini, satu di antaranya adalah tentang dia.

Dan misteri di balik wajah tanpa minat itu.

Lalu ketika gue sedikit rela, sebuah engah dan suara hentakan kaki membuat gue buru-buru menghampiri. Ternyata dia tidak lupa, ternyata walau sangat terlambat, dia berusaha bergegas kemari.

Terlihat dari bagaimana gadis itu terengah-engah.

"Wah, tamu kehormatannya baru dateng banget nih?"

Binar namanya. Tapi tidak seperti namanya, gue sama sekali tidak melihat binar di kedua mata itu.

Hanya gelap. Hanya sepasang mata tanpa jiwa.

"Sorry, I don't mind—"

Dibanding menuntut dia dengan pertanyaan kenapa dan apa yang membuat dia harus mengulur waktu hingga akhir dan membuat gue ketar-ketir sepanjang hari, gue memilih menuntun dia memasuki galeri pameran.

Gue tidak perduli, setidaknya dia menepati janji. Dan membuat gue bisa menepati milik gue juga.

Tidak banyak yang kami bicarakan selama gue mengantar dia melihat-lihat. Hanya sesekali berhenti, lalu diam-diam gue memperhatikan dia tersenyum kecil.

Inilah kenapa fotografi sangat menyenangkan. Kita bisa mengabadikan banyak momen yang mustahil diulang, membagikannya dan menjadikannya sebagai kenangan bersama. Tanpa terkecuali pada orang-orang yang tidak ada di sana saat momen itu terjadi.

"Semua ini lo yang motret?"

Kami duduk sebentar di bangku kayu yang diletakkan di tengah ruang utama. Dia memutar kepala melihat sekeliling, lantas menghentikannya saat mata kami bertemu. Memberi gue waktu untuk mempelajari misterinya lebih lama.

"Sebenernya cuma iseng, tapi ternyata udah terkumpul sebanyak ini."

Sebagian diri gue merasa bangga, juga lega.

Membuat pameran adalah satu dari sederet mimpi yang selama ini gue tumpuk. Meski rasanya masih mustahil, ternyata gue bisa berada pada titik ini. Titik di mana gue bisa membagikan berbagai momen yang gue kumpulkan selama gue melakukan perjalanan, juga mengentaskan beberapa janji dalam satu kesempatan.

"Gue bersyukur, karena akhirnya gue bisa membuat pameran gue sendiri."

"Congrats then."

Dia tersenyum kecil.

"Gue tidak akan mengucapkan terima kasih karena lo telat dateng."

Lalu kekehannya pecah. Renyah.

"Ada waktu malam ini?"

Gue mendelik. "Kayaknya dapet rejeki nomplok nih gue."

"Apaan sih, Da."

Dia memukul lengan gue pelan, seperti gerakan refleks itu adalah kebiasaannya saat kehabisan kata.

"Karena gue terlambat dan ucapan selamat gue belum diterima, izinkan gue traktir lo makan sebagai gantinya."

"Waduh, gue keliatan nggak punya duit apa gimana?"

Dia terkekeh. "No, lo lebih keliatan kelaparan."

Karena dia benar dan gue tidak bisa mengelak, rasanya gue masih punya cukup waktu untuk makan sebentar dengannya. Berkeliling menemani pengunjung yang datang ternyata cukup menguras tenaga. Lagipula, gue tidak tau apakah gue masih punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi jika bukan malam ini.

L A K U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang