Gue masih tidak betah di rumah. Seperti yang gue bilang, rumah ini, atau mungkin seluruh penjuru Tangerang Raya punya sesuatu yang membuat gue nyeri. Ke dapur, inget Ibu. Ke teras belakang, inget Ibu. Seluruh ingatan gue hanya berputar di Ibu, Ibu dan Ibu ketika gue menghirup udara di kota ini.
Tapi belakangan, sesuatu seperti mendistraksi.
Gue tidak betah berlama-lama di Tangerang tapi belakangan, sesuatu seperti menahan gue. Membuat gue ingin tinggal. Ingin berada dalam radarnya. Ingin bisa datang kapan saja jika bisa.
Membuat gue, sesaat melupakan bahwa gue pernah sangat tersakiti di sini. Membuat gue, sesaat merasa bahwa Tangerang ternyata juga bisa memberi gue kenangan indah. Walau masih begitu kabur.
"Gue nggak lembur, nih udah mau jalan pulang."
Begitu katanya ketika gue tanya apakah dia akan pulang terlambat lagi hari ini, seperti kemarin.
Oh iya, gue bertukar kabar cukup sering dengan Binar. Kemarin, gue dibuat panik setengah mati ketika dia bilang dia masih di kantor. Jam setengah sebelas malam. Dua hari lalu juga, membuat gue mengutuki kantor yang membiarkan seorang gadis bekerja hingga selarut itu.
Walau emosi gue hanya berbuah tawa darinya, ya ini mah mau-maunya gue aja kali, Da. Cari penghiburan.
Sebuah kalimat yang gue tangkap sebagai peluang membayar janji makan es krim. Bisa-bisaan gue aja, sebenernya sih gue hanya ingin melihat dia.
"Beli es krim lah yuk, isi ulang energi yang kemarin diperes sampe tengah malem."
Harap-harap cemas, gue menanti dia membalas.
Sebenarnya, gue takut. Takut dia salah paham. Takut dia merasa terganggu. Takut dia menganggap gue sebagai orang aneh. Pun saat akhirnya gue memberanikan diri untuk mengirim chat iseng. Ternyata, malah mengular.
"Sekarang?"
Senyum gue merekah.
"Ya masa kemaren."
Karena merasa menunggu balasan terlalu lama, akhirnya gue telfon saja dia.
"Baru mau dibales."
"Apanya?"
"Chatnya lah."
"Oh, kirain kangennya."
Dia tertawa.
"Bisa?"
"Apanya?"
"Beli es krim lah, masa bales kangennya."
"Haha.. apaan sih, Da."
Kalau senyum bisa membuat kaya, pasti gue sudah jadi sultan. Karena serius, jika mungkin, ujung bibir gue sudah pasti sedang temu kangen dengan telinga saking lebarnya senyum gue hanya karena mendengar suara ketawa seorang Binar.
"Oke deh."
"Bales kangen?"
"Arda ih!"
Kali ini gelak gue yang pecah. Aduh, nggak sabar.
"Gue jemput ya?"
"Ketemu di lokasi aja kali ya?"
Gimana aja deh Binar, asal ketemu lo.
"Oke deh."
"Oke."
Jeda sejenak.
"Oh iya, Da."
"Ya?"
"Helmnya, nanti jangan lupa dilepas."